Entri Populer

Jumat, 24 Desember 2010

Jebakan Imajinasi Semu

“Tak  satupun wujud yang bisa menutupi Allah, karena sesungguhnya tidak satu pun yang menyertaiNya. Bahwa sesungguhnya anda tertutup dari Allah disebabkan oleh  imajinasi (seakan) ada wujud yang menyertaiNya.” “Tak  satupun wujud yang bisa menutupi Allah, karena sesungguhnya tidak satu pun yang menyertaiNya. Bahwa sesungguhnya anda tertutup dari Allah disebabkan oleh  imajinasi (seakan) ada wujud yang menyertaiNya.”
Adanya imajinasi wujud selain Allah membuat anda lebih sibuk dengan wujud semu itu, berupa dunia seisinya dengan segala masalahnya, secara tidak langsung maupun langsung, anda telah terjebak seakan-akan wujud semu itu yang mengancam dan memberi manfaat bagi kehidupan anda, sehingga anda pun terhijab dari Allah azza wa-Jalla.
Padahal wujud itu hakikatnya tidak ada, yang berhak punya sifat Wujud hanyalah Allah swt.
Dalam kitab Lathaiful Minan, karya lain Ibnu Athaillah digambarkan, “ketika melihat wujud semesta ini, anda melihat adanya bayangan dengan mata kepala. Padahal bayangan itu sesungguhnya tidak ada jika ditinjau dari struktur wujud itu sendiri, tetapi juga tidak bisa disebut tidak ada, jika dilihat dari struktur ketiadaan.
Dengan demikian bayangan semesta itu tidak bisa menghapus yang empunya bayang. Karena sesuatu itu menyerupai padanannya dan terkumpul dalam bentuknya. Begitu pula yang menyaksikan sifat bayangan alam tidak bisa menghalangi Allah swt, sebagaimana bayangan pohon di siang hari tidak menghalangi lajunya kapal untuk berjalan.
Dari sinilah jelas bahwa tirai atau tutup itu bukan sebagai wujud yang menghadang antara diri anda dengan Allah Ta’ala. Apabila hijab itu memiliki sifat wujud antara diri anda dengan Allah Ta’ala, pastilah wujud tadi lebih dekat dibanding Allah Ta’ala, padahal tak satu pun yang lebih dekat padamu dibanding Allah Ta’ala. Maka hakikat hijab itu sesungguhnya kembali pada imajinasi tentang adanya hijab itu sendiri.”
Beliau melanjutkan, bahwa dengan memandang SifatNya, segala makhluk akan terliputinya:
“Apabila Sifat-sifatNya tampak, maka seluruh semesta ini akan tersirnakan. Kalaulah bukan tampakNya dibalik semesta ciptaanNya, mata hati tak pernah bisa memandangnya.”

Dapat disebutkan, tidak ada ketetapan pada makhluk dengan munculnya efek dari Allah Ta’ala. “Sungguh mengherankan, bagaimana bisa wujud menjadi tampak dalam ketiadaan? Atau bagaimana bisa ada sesuatu yang baru bersanding dengan Dzat yang punya sifat Maha Dahulu?”, begitu disebut oleh Ibnu Athaillah pada hikmah-hikmah terdahulu.
Kalaulah bukan karena pengaruh Sifat-sifatNya yang diyakini dengan ilmu dan dikhususnya dengan IrodahNya dan dimunculkan melalui KuasaNya, maka tak ada yang tampak sama sekali, baik oleh mata kepala maupun mata hati. Yang Dzohir berarti adalah sifat-sifatNya. Bila memandang pada yang lain dari Sifat itu, akan terjebak pada imajinasi-imajinasi yang dibatasi rupa, tanpa kembali ke hakikatnya yang bisa menghapus imajinasi semu tadi. (Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary)

Siapakah Sahabat Sejati?

Syeikh Ibnu ‘Athaillah As-Sakandary.
“Tak ada sahabat sejatimu kecuali dia yang paling tahu aibmu, dan tidak ada (sahabat seperti itu) kecuali Tuhanmu Yang Maha Pemurah. Sebaik-baik sahabatmu adalah yang  menuntutmu, tetapi sama sekali tuntutan itu tidak ada kepentingannya darimu untuk-nya.”
Tak ada yang lebih tahu aib kita secara detil dan rinci melainkan Allah swt, karena Dia-lah yang tak pernah meninggalkan anda ketika anda dalam kondisi hina dan tidak menolak anda ketika anda dalam kondisi sangat kurang, bahkan senantiasa mengasihi anda dalam situasi apa pun.
Pada saat begitu Dia memerintahkan anda dan melarang anda, namun anda maksiat pada-Nya, namun Dia tidak meninggalkan anda, bahkan dengan rasa belas kasih-Nya Dia memanggilmu untuk datang kepada-Nya di saat anda alpa.
Namun jika yang tahu aib anda secara detil itu adalah makhluk, maka para makhluk pun justru meninggalkan anda dan melempari anda atas perbuatan anda selama ini. Namun Allah Swt dengan segala cinta dan kasih sayang-Nya senantiasa malah menjaga anda. Namun yang menyadari itu sangat sedikit.
Allah Swt tidak pernah meminta imbal balik kita dibalik perlindungan, perintah, tuntutan dan larangan-Nya. Sedangkan pergaulan dan persahabatan dengan makhluk penuh dengan tuntutan dan kepentingan. Maka sahabat sejati sesungguhnya  yang menyadarkan kepentingan yang kembali pada diri kita, hal-hal yang berguna maupun hal-hal mana yang berbahaya.
Namun rasa yaqin yang rendah dan lemah membuat anda terhijab dari semua itu. Karena itu Ibnu Athaillah melanjutkan:
“Seandainya cahaya yaqin memancar, pasti anda melihat akhirat lebih dekat padamu dibanding anda menempuhnya. Dan sungguh anda memandang keindahan dunia tak lebih dari reruntuhan fana yang tampak padanya.”
Dunia hanyalah khayal dalam wujudnya, apabila anda benar-benar tercerahi oleh cahaya yaqin.
Ahmad bin Ashim al-Anthaky ra menegaskan, “Yaqin adalah nur yang dijadikan Allah swt dalam hati hamba-Nya, hingga ia melihat perkara akhiratnya dan cahaya itu membakar semua hijab antara Dia dan dirinya, sampai akhirat tampak begitu jelas dalam perspektifnya.”
Suatu hari Rasulullah Saw, bertanya kepada Haritsah ra,  “Apa kabarmu pagi ini wahai Haritsah?”
“Saya dalam kondisi beriman yang benar,” jawab Haritsah.
Rasulullah saw, bersabda, “Setiap kebenaran ada hakikatnya, lalu apa hakikat imanmu?”
“Seakan-akan saya berada di Arasy Tuhanku benar-benar ditegakkan dan saya melihat ahli syurga sedang menikmati nikmat-nikmat-Nya di syurga dan ahli neraka sedang saling minta pertolongan,” kata Haritsah.
Rasulullah saw, bersabda, “Kamu sedang mengenal maka teguhlah. Seorang hamba yang qalbunya dicerahi cahaya oleh Allah….” (Al-Hadits).
Rasulullah saw, pernah bersabda, “Bila  cahaya masuk dalam hati, maka hati akan lapang…”
Rasul saw, ditanya, “Wahai Rasulullah apakah ada tanda untuk mengenal itu?”
Beliau menjawab, “Merasa kosong di negeri tipudaya dan kembali pada negeri keabadian, serta mempersiapkan bekal mati sebelum waktunya tiba…”

Selasa, 21 Desember 2010

Sufi dan Zuhud

Sufi adalah orang yang mengamalkan pekerjaan tasawuf. Berdasar asal katanya (etimologi), istilah ‘sufi’ punya arti yang beragam. Menurut Ensiklopedia Indonesia terbitan Ichtiar Baru Van Hoeve (1997), ‘Sufi’ diambil dari kata ‘Suf’, yang artinya ‘kain yang dibuat dari bulu domba yang ditenun kasar’.
Biasa dikenakan oleh orang-orang sufi sebagai lambang kesederhanaan dan kemiskinan, namun berhati dan berbudi pekerti mulia. Berpakaian ‘Suf’ juga bermaksud sebagai reaksi terhadap orang-orang yang hidupnya mewah dengan berpakaian sutra yang indah-indah, terutama yang dilakukan oleh para pembesar kerajaan Bani Umayyah dan Bani Abbasiyah
'Sufi’ juga berasal dari kata ‘Saf’. Saf artinya baris dalam shalat berjamaah. Karena saf pertama itu lebih banyak pahalanya dibandingkan dengan saf kedua, ketiga dan seterusnya, dalam hal ini sufi bermakna dimuliakan Tuhan dan diberi banyak pahala. ‘Sufi’ juga berasal dari kata ‘Ahl al-Suffah’. Ahl al-Suffah ialah orang-orang yang mengikuti hijrah dari Mekah ke Madinah, kemudian bertempat tinggal di serambi Masjid Nabawi. Mereka tidak punya apa-apa, lagi miskin. Tidur mereka di atas tikar berbantal Suffah (Pelana Kuda/Unta). Meskipun miskin tetapi berhati mulia, seperti halnya sifat-sifat yang dimiliki orang sufi.
Sufi juga punya arti Suci. Orang-orang sufi senantiasa berusaha mensucikan dirinya dengan melalui latihan-latihan kerohanian tertentu. Dalam sejarah, istilah sufi baru dikenal setelah pertengahan abad kedua hijriah. Sebelum itu orang hanya kenal dengan perkataan Zuhud.
Zuhud, zuhd atau al-zuhd secara harfiah bermakna keadaan meninggalkan kehidupan dunia yang bersifat materi dan menekuni hal-hal yang bersifat rohani. Dalam praktik sehari-hari, makna zuhud sekarang ini sering disalahtafsirkan sebagai perilaku yang meninggalkan hal-hal yang bersifat duniawi, misalnya tidak peduli terhadap keluarga, pekerjaan dan lainnya.
Syeikh KH. Habib Muhammad Luthfi Ali Yahya selaku Ro’is A’am Jami’iyyah Ahlith Thoriqoh Al Mu’tabarah An-Nahdliyyah menjelaskan sikap zuhud dengan mengumpamakan seperti ikan di dalam air laut yang asin. Ikan perlu air untuk hidup. Tapi daging ikan laut tidak pernah asin (kecuali sengaja digarami). Begitu pula manusia yang memerlukan dunia untuk hidup. Dunia diciptakan Tuhan untuk manusia. Silahkan manusia bekerja, mencari harta di dunia sebanyak-banyaknya. Tapi manusia yang zuhud tak pernah tersentuh oleh dunia.
Kembali kepada sejarah, sikap zuhud mulai tumbuh sebagai aliran dan masih bersifat individu, di akhir abad kesatu dan awal abad kedua hijriah (abad ke 7 dan 8 Masehi). Hal ini sebagai titik tolak dan dasar dari timbulnya aliran tasawuf. Dikenal sebagai perintis pertama dari al-zuhd ialah adanya beberapa orang dikalangan sahabat Nabi yang merasa tidak senang terhadap sikap hidup mewah dari para pembesar kerajaan berserta kalifah dan keluarganya. Mereka itu mendapatkan kekayaan melimpah ruah setelah Islam memperluas daerahnya ke Mesopotamia, Suriah, Persia, dan Mesir. Kehidupan mewah yang demikian itu jauh dari tuntunan dan ajaran yang dicontohkan Rasul Allah atau Kalifah Abu Bakar, Umar dan para Sahabat Nabi lainnya, yang hidupnya serba sederhana.
Ada diantara sahabat Nabi bernama Abdullah Ibn Umar secara diam-diam menyingkir dari kalangan pejabat-pejabat dari pemerintahan dan hidup zuhud. Akan tetapi Abu Dzar al-Giffari salah seorang sahabat Nabi secara terang-terangan mencela dan memperingatkan cara hidup kemewahan Mu’awiyah Ibn Abi Sufyan, Gubernur Negeri Syam. Sikap menentang ini berakibat ia ditangkap dan diasingkan di dusun Ribzah luar kota Madinah dan kemudian menjadi hidup zuhud.
Perkembangan al-zuhd ini selanjutnya, yang berpusat di Kufah terkenal dengan berpaham idealis tradisional, pengikut mazhab Zahiri dalam mengupas hadits. Dalam akidah lebih cenderung kepada jiwa Syiah dan Murjiah. Para zahidnya yang terkemuka antara lain Sufyan al-Tsauri (± 135 H), Rabi’ Ibn Khaitsam (± 67 H), Abu Hasyim (± 150 H), dan Jubir Ibn Hasyim (± 190 H).
Adapun pengamal al-zuhd yang berpusat di Basrah, mereka lebih realis dan kritis dalam cara berfikir, gemar pada logika dalam kupasan ilmu bahasa, realis dalam membuat sajak dan gubahan, kritis dalam mengupas hadits dan dalam aqidah mereka cenderung pada paham Mu’tazilah dan Qodariyah. Pengamal al-zuhd di Basrah lebih ekstrem daripada yang ada di Kufah, sehingga akhirnya nanti akan meningkat menjadi ajaran-ajaran tasawuf. Tokoh-tokoh zahidnya yang terkenal antara lain : Hasan al-Basri (± 110 H), Malik bin Dinar (± 181 H), Fadl al-Rakkashi (± 182 H), dan Rabi’ah al-Adawiyah (± 185 H). Dari perkembangannya di kedua kota ini, aliran al-zuhd meluas ke daerah-daerah lain seperti di Persia.
Di Khurasan terkenal dengan nama Ibrahim Ibn Adham (± 162 H) dan muridnya Syafiq al-Balkhi (± 191 H). Di Madinah terkenal seorang zahid bernama Ja’far ash-Shadiq (± 148 H). Sebutan yang sama dengan al-zuhd pada masa itu ialah ‘abid atau nasik, artinya orang-orang yang senantiasa tekun beribadah. Disebut juga dengan istilah ‘buka-in’, artinya orang yang senantiasa menangisi kalau-kalau tobat, atau amal ibadahnya tidak diterima oleh Tuhan.

Senin, 20 Desember 2010

Keluasan Neraka

Keluasan Neraka
Yazid Arraqqasyi dari Anas bin Malik ra. berkata: Jibrail datang Kepada Nabi saw ada waktu yg ia tidak biasa datang dalam keadaan berubah mukanya,maka ditanya oleh nabi s. a. w.: "Mengapa aku melihat kau berubah muka?" Jawabnya: "Ya Muhammad, aku datang kepadamu di saat Allah menyuruh supaya dikobarkan penyalaan api neraka, maka tidak layak bagi orang yg mengetahui bahawa neraka Jahannam itu benar, dan siksa kubur itu benar, dan siksa Allah itu terbesar untuk bersuka-suka sebelum ia merasa aman daripadanya."Lalu nabi s. a. w. bersabda: "Ya Jibrail, jelaskan padaku sifat Jahannam."Jawabnya: "Ya. Ketika Allah menjadikan Jahannam, maka dinyalakan Selama seribu tahun, sehingga merah, kemudian dilanjutkan seribu tahun sehingga putih, kemudian seribu tahun sehingga hitam, maka ia hitam gelap, tidak pernah padam nyala dan baranya. Demi Allah yg mengutus engkau dengan hak,andaikan terbuka sebesar lubang jarum nescaya akan dapat membakar penduduk dunia semuanya kerana panasnya. Demi Allah yg mengutus engkau dengan hak,andaikan satu baju ahli neraka itu digantung di antara langit dan bumi nescaya akan mati penduduk bumi kerana panas dan basinya.Demi Allah yg mengutus engkau dengan hak, andaikan satu pergelangan dari rantai yg disebut dalam Al-Qur'an itu diletakkan di atas bukit, nescaya akan cair sampai ke bawah bumi yg ke tujuh. Demi Allah yg mengutus engkau dengan hak, andaikan seorang di hujung barat tersiksa,nescaya akan terbakar orang-orang yang di hujung timur kerana sangat panasnya, Jahannam itu sangat dalam dan perhiasannya besi, dan minumannya air panas campur nanah, dan pakaiannya potongan-potongan api. Api neraka itu ada tujuh pintu,tiap-tiap pintu ada bahagiannya yang tertentu dari oranglaki-laki dan perempuan." Nabi s. a. w. bertanya: "Apakah pintu-pintunya bagaikan pintu-pintu rumah kami?" Jawabnya: "Tidak, tetapi selalu terbuka,sesetengahnya di bawah dari lainnya, dari pintu ke pintu jarak perjalanan 70,000 tahun, tiap pintu lebih panas dari yang lain 70 kali ganda." (nota kefahaman: iaitu yg lebih bawah lebih panas)Tanya Rasulullah s. a. w.: "Siapakah penduduk masing-masing pintu?" Jawab Jibrail: "Pintu yg terbawah untuk orang-orang munafik,dan orang-orang yg kafir setelah diturunkan hidangan mukjizat nabi Isa a.s.serta keluarga Fir'aun sedang namanya Al-Hawiyah. Pintu kedua tempat orang-orang musyrikin bernama Jahim, Pintu ketiga tempat orang shobi'in bernama Saqar. Pintu ke empat tempat Iblis dan pengikutnya dari kaum majusi bernama Ladha, Pintu kelima orang yahudi bernama Huthomah. Pintu ke enam tempat orang nasara bernama Sa'eir." Kemudian Jibrail diam segan pada Rasulullah s. a. w. sehingga ditanya: "Mengapa tidak Kau terangkan penduduk pintu ke tujuh?" Jawabnya: "Di dalamnya orang-orang yg berdosa besar dari ummatmu yg sampai mati belum sempat bertaubat." Maka nabi s. a. w. jatuh pengsan ketika mendengar keterangan itu,sehingga Jibrail meletakkan kepala nabi s. a. w. di pangkuannya sehingga sedar kembali dan sesudah sedar nabi saw bersabda: "Ya Jibrail, sungguh besar kerisauanku dan sangat sedihku, apakah ada seorang dari ummat ku yang akan masuk ke dalam neraka?" Jawabnya: "Ya, iaitu orang yg berdosa besar dari ummatmu." Kemudian nabi s. a. w. menangis, Jibrail juga menangis, kemudian nabi s. a. w. masuk ke dalam rumahnya dan tidak keluar kecuali untuk sembahyang kemudian kembali dan tidak berbicara dengan orang dan bila sembahyang selalu menangis dan minta kepada Allah. dipetik dari kitab "Peringatan Bagi Yg Lalai" Dari Hadith Qudsi: Bagaimana kamu masih boleh melakukan maksiat Sedangkan kamu tak dapat bertahan dengan panasnya terik matahari Ku. Tahukah kamu bahawa neraka jahanamKu itu: > 1. Neraka Jahanam itu mempunyai 7 tingkat 2. Setiap tingkat mempunyai 70,000 daerah 3. Setiap daerah mempunyai 70,000 kampung 4. Setiap kampung mempunyai 70,000 rumah 5. Setiap rumah mempunyai 70,000 bilik 6. Setiap bilik mempunyai 70,000 kotak 7. Setiap kotak mempunyai 70,000 batang pokok zarqum 8. Di bawah setiap pokok zarqum mempunyai 70,000 ekor ular 9. Di dalam mulut setiap ular yang panjang 70 hasta mengandungi lautan racun yang hitam pekat. 10. Juga di bawah setiap pokok zarqum mempunyai 70,000 rantai 11. Setiap rantai diseret oleh 70,000 malaikat Mudah-mudahan dapat menimbulkan keinsafan kepada kita semua. Wallahua'lam. Al-Quran Surah Al- Baqarah Ayat 159 Sesungguhnya orang-orang yang menyembunyikan apa yang telah Kami Turunkan dari keterangan-keterangan dan petunjuk hidayat,sesudah Kami menerangkannya kepada manusia di dalam Kitab Suci, mereka itu dilaknat oleh Allah dan dilaknat oleh sekalian makhluk.


Tarekat Awam Dan Tarekat Khas

Tarekat Awam Dan Tarekat Khas
Dalam wancana Syadziliyah ada tahap dimana, para penempuh jalan Sufi melakukan melalui dua cara:

Cara pertama melalui cara yang ditempuh khalayak awam (umum) dan ada pula yang ditempuh oleh khalayak khusus (Khas). Pandangan awam mahupun Khas di sini, tidak bersifat sosiologi mahupun intelektual. Tetapi bersifat spiritual. Penentuan seseorang melalui sistem Awam atau pun Khas, hanyalah bentuk penempuhan itu sendiri. Sebagaimana dalam Al-Qur'an ada istilah al-Muhibbin dan Al-Mahbubin, ada ash-Shiddiqin dan ada pula ash-Shadiqin. Konteks lain dari istilah Sufi, ada proses yang bersifat Al-Murid ada juga dengan proses Al-Murad. Jadi kategori di atas hanyalah kategori proses penempuhannya. Kerana itu disarankan Mursyid Kamil Mukammil untuk membimbing, masing-masing terhadap kedua proses di atas.

Dalam Al-Mafakhir, dikutip ucapan asy-Syadzily tentang kategori penempuhan di atas, beliau mengatakan secara panjang lebar:

"Perlu diketahui bahawa pengetahuan yang menurut pemiliknya dianggap terpuji, hal itu dianggap gelap bagi ahli hakikat. Ahli hakikat ini adalah mereka yang yang menyelami Lautan Dzat dan kedalaman Sifat-sifat. Di sana, mereka tanpa memiliki hasrat. Dan mereka itulah kalangan elit atau Khas yang Luhur. Yaitu mereka yang menyertai martabat para Nabi dan Rasul, walaupun martabat para Nabi dan Rasul itu lebih mulia. Sebab mereka ini mempunyai bahagian dari martabat itu, kerana baik Nabi mahupun para Rasul dari ummat ini, pasti mempunyai pewaris, dan setiap pewaris mempunyai bahagian dari peninggalan warisannya. Nabi saw, bersabda, " Para Ulama itu adalah pewaris para Nabi." Dan tentunya para pewaris itu memiliki kedudukan yang diketahui dari yang mewariskannya, dari segi pewarisan ilmu pengetahuan dan hikmah. Namun bukan dari segi perwujudan martabat dan keadaan anugerah rohani (al-maqam wal-haal). Sebab maqam para Nabi itu terlalu luhur untuk diraih oleh selain para Nabi sendiri, sementara setiap pewaris mendapatkan sebahagian maqam itu menurut warisan yang diterimanya. Kerana Allah swt, sudah berfirman, "Niscaya benar-benar Kami utamakan sebahagian Nabi atas sebahagian yang lainnya". Begitu juga Allah memberikan posisi keutamaan para wali satu sama lainnya berbeza.

Para Nabi sentiasa menyertai Pandangan Allah, dan setiap pandangan yang melimpah dari pandangan para Nabi akan tertuang menurut kadarnya.

Sementara setiap Wali memiliki muatan yang spesifik, sehingga dunia Wali terbahagi menjadi dua:

Satu bahagian disebut sebagai para Abdal (pengganti) bagi para Nabi Bahagian kedua, adalah pengganti para Rasul.

Abdal para Nabi disebut sebagai kalangan Shalihun, sedangkan Abdal para Rasul disebut ash-Shiddiqun. Antara Shalihun dengan Shiddiqun, posisi keutamaannya sama dengan antara para Nabi dan Rasul. Maka dari mereka, dan dari mereka pula. Hanya saja diantara mereka itu adala kelompok khusus yang mendapatkan substansi materi langsung dari Rasulullah saw, yang mereka saksikan dengan pandangan keyakinan.

Tetapi jumlah kelompok sedikit, namun dalam jumlah perwujudan hakikatnya cukup banyak. Setiap Nabi dan Wali selalu bermula dari substansi Rasulullah saw,. Karena diantara para Wali itu ada yang menyaksikan dengan pandangannya, dan sebahgian mereka yang ada yang tersembunyikan pandangan dan substansi materinya. Mereka malah fana' dalam anugerah yang turun padanya dan tidak tersibukkan dengan mencari substansi materinya itu, bahkan , mereka itu tenggelam dalam anugerah rohani (hal) sampai tidak lagi melihat kecuali hanya pada "waktunya".

Diantara mereka ada yang terlimpahi melalui Nur Ilahi, sehingga mereka dapat memandang melalui cahaya itu, dan mengenal urusannya secara hakikat. Dan yang demikian itu merupakan karomah bagi mereka, yang tidak boleh diingkari kecuali oleh mereka yang memang mengingkari karomah para Wali. Kita semua mohon perlindungan dari keingkaran terhadap sesuatu setelah kita mengenal sesuatu itu. Mereka itu menempuh Thariqat yang tidak ditempuh oleh yang lainnya.

Sebab jalan penempuhan (Thariqat) itu ada dua. Thariqat bagi kalangan Khas, dan Thariqat bagi kalangan publik (umum). Dimaksud dengan Thariqat Khos itu, adalah jalan yang ditempuh oleh kalangan yang Dicintai Allah (al-Mahbubin), yang merupakan Abdal para Rasul. Sedangkan Thariqat Umum adalah Thariqat yang ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin), yaitu Abdal para Nabi. Semoga Salam Sejahtera bagi mereka semua.

Thariqat Khas adalah Thariqat yang sangat elit yang sulit dicerna akal biasa, dan jauh sekali yang mampu menguraikan isinya. Bagi anda cukup dengan Thariqat Umum, yaitu jalan penempuhan melalui satu tahap ke tahap lainnya yang lebih luhur hingga sampai pada suatu tahap tertentu, yaitu , "tempat duduk yang benar di sisi Raja Yang Maha Berkuasa".

Jejak pertama yang harus dtempuh oleh seorang pecinta (al-Muhibb) adalah menaiki suatu tahap ke tahap yang lebih tinggi, yaitu Nafsu. Ia tersibukkan oleh sebab akibat di sana dan bagaimana seseorang mengolah nafsunya (mengendalikannya) sampai tangga kema'rifatan, Manakala ia telah mencapai tahap ma'rifat dan meraih hakikat di sana, ia akan mendapatkan pencerahan cahaya di tahap kedua, iaitu Kalbu. Dalam tahap ini ia berada dalam kesibukan "bersiasat" dalam dunia ma'rifatnya. Manakala tidak ada lagi yang tersisa tahapnya, ia menaiki tangga ketiga, yaitu Ruh. Lalu ia bersibuk diri dengan Siasat Ruh dan kema'rifatannya. Apabila ma'rifatnya sudah sempurna maka sedikit demi sedikit mengalirlah cahaya-caha keyakinan, sampai pandangannya lupa dengan luapan-luapan cahaya itu, sampai keyakinannya benar-benar jelas, sehingga ia tidak lagi mampu berfikir terhadap pencahayaan tiga tahap yang berlalu itu. Maka disanalah ia bebas berhasrat sesuai dengan kehendak Allah . Lalu Allah melimpahkan melalui Nur Akaly yang asli dalam Nur keyakinan. Maka ia menyaksikan adanya yang dimaujudkan tanpa batas dan pangkal, jika disandarkan pada si hamba tersebut. Sehingga lenyaplah seluruh jasad ini didalamnya.

Kadang-kadang seperti tabung yang terlihat di udara melalui cahaya matahari, maka, ketika cahaya matahari itu membakar, tabung itu tidak lagi tampak bekasnya.

Matahari itu adalah akal yang lazim, yang bisa memperlihatkan obyek, setelah terpenuhi oleh materi cahaya keyakinan. Apabila seluruh cahaya itu lenyap, maka seluruh jagad itu sirna pula, dan yang ada hanyalah yang maujud ini. Kadang tampak ada, kadang sirna, sampai ketika ia menghendaki kesempurnaan, ia dipanggil oleh panggilan yang lembut, tanpa suara, yang hanya bisa difahami saja. Hanya saja yang bisa menyaksikan selain Allah, tiada sesuatu yang lain selain Allah. Maka, disitulah ia bangun dan sedar dari "mabuk"nya. Lalu bermunajat, "Oh Tuhan, tolonglah daku....,, tolonglah aku...sungguh aku telah musnah..."

Dari sana ia tahu dengan seyakin-yakinnya, bahawa siapapun tidak boleh selamat dari lautan itu melainkan kerana pertolongan Allah. Disaat seperti itu dikatakan padanya, "Maujud ini adalah Akal, seperti yang disabdakan Rasulullah saw, bahawa yang pertamakali diciptakan oleh Allah adalah akal." Pada hadits lain dijelaskan, "Allah berfirman pada akal itu, ‘Menghadaplah!' dan akal itu pun menghadap."

Hamba ini lantas dianugerahkan rasa hina dan keselamatan melalui Cahaya Maujud itu, sebab batas dan ukurannya tiada terkira, sehingga ia tak mampu mengenalnya. Dikatakan padanya, "Betapa jauhnya, batas itu tidak bisa dikenal kecuali bersama Allah." Lantas Allah Yang Maha Agung nan Luhur memberikan petunjuk melalui Cahaya Asma'-Nya, muncullah bagai sekelebat kedipan mata, atau seperti yang dikehendaki-Nya (Kami mengangkat darjat orang yang Kami kehendaki), kemudian Allah melimpahkannya melalui Cahaya Ruh Rabbany, lalu ia pun mengenal Maujud ini. Hamba tadi naik ke medan Ruh Rabbany, tiba-tiba sinar seluruh hiasan keindahan yang menyertainya, lalu secara sendirinya ia tersunyikan, tinggalah segala yang ada ini menjadi Maujud. Kemudian Allah menghidupkannya melalui Cahaya Sifat-sifatNya, lalu dengan kehidupan itu Allah menaikkan ke dalam pengenalan Maujud Rabbany itu.

Ketika hamba terurai dari dasar-dasar SifatNya, hampir-hampir ia sebutkan, "Dialah Allah". Tiba-tiba ia ditemui oleh Pertolongan Azaly, lalu muncul panggilan, "Ingatlah! Bahawa maujud itu adalah yang tiada boleh disifati oleh siapa pun, tidak boleh pula dimengerti melalui ibarat apa pun melalui Sifat-sifatNya melainkan oleh ahlinya, namun melalui cahaya lain yang mengenalnya." Kemudian Allah melimpahkannya melalui Cahaya Sirr Ruh (rahsia batin Ruh), tiba-tiba ia sudah duduk di pintu medan Sirr.

Hasratnya mengembang untuk mengenal Maujud itu yang tidak lain adalah Sirr itu sendiri. Namun, ia telah buta untuk mengenalnya, lalu seluruh sifat-sifatnya sirnya, seakan-akan tak ada sesuatu pun padanya. Kemudian Allah melimpahkan Cahaya DzatNya, dengan limpahan Kehidupan Keabadian yang tiada hingga. Semua yang diketahui memandang dengan Cahaya Kehidupan ini, lantas seluruh penghuni Maujud ini menjadi Cahaya yang memancar pada segala yang ada, tidak lagi ada yang bisa disaksikan selain Dia. Muncullah panggilan dari jarak yang sangat dekat saat itu: "Janganlah terpedaya dengan Allah, kerana yang Dicintai justru dari tirai (hijab), dari Allah, beserta Allah. Sebab mustahil Allah dihijabi oleh selain Allah." Lalu ia hidup dengan kehidupan yang dititipkan oleh Allah di dalamnya. Hamba itu lalu berkata, "Aduh, Tuhanku....BesertaMu, DariMu, KepadaMu, betapa tak berdayanya daku. Sesungguhnya aku memohon perlindungan padaMu dariMu, sampai aku tidak melihat lagi selain DiriMu."

Itulah jalan yang tanjakannya menuju Hadirat Allah Yang Luhur, yaitu jalan ditempuh oleh para pecinta Allah (al-Muhibbin) , sebagai para Badal Nabi.

Sedangkan yang dianugerahkan pada salah seorang dari mereka setelah itu, tak satu pun orang yang boleh mengukur atau mendeskripsikannya.

Segala Puji hanya bagi Allah, atas segala nikmat-nikmatNya, dan shalawat serta salam semoga terlimpah padaMuhammad pengunci para NabiNya.

Sedangkan Thariqat kalangan Mahbubin (mereka yang dicintai-Nya) adalah langsung dari Allah, kepada Allah. Sebab mencapai jalan ini mustahil selain dari Allah Sendiri. Pijakan pertamanya, adalah tanpa pijakan itu sendiri, untuk mendapatkan Cahaya DzatNya. Mereka ini disembunyikan dari hamba-hamba-Nya, kerana ia dianugerahi rasa cinta terhadap ketersembunyian. Segala amal-amal yang shaleh sangat kecil di matanya, sementara yang terlihat besar adalah Tuhannya bumi dan langit.

Ketika dalam keadaan demikian itu, tiba-tiba mereka mendapati dirinya berpakaian baju ilmu. Lalu mereka memandang, tetapi yang tampak, mereka itu bukan mereka. Lantas ia tertimpa suatu kegelapan yang menyembunyikan pandangan mereka, bahkan wahananya menjadi wahana tiada, tanpa sebab-akibat. Seluruh aturan sebab akibat terhempas, dan seluruh yang disebut sebagai yang baru sirna tanpa sesuatu yang baru, bahkan tak ada wujud lagi. Yang jelas justru tiada lagi, kecuali hanya Ketiadaan Murni itu sendiri, tanpa sebab dan akibat. Dan segala yang tanpa sebab langsung, berarti tidak ada obyek yang bisa dikenalnya. Segala yang yang bisa diketahui telah sirna, dan segala rumus telah musnah, sirna yang tidak diketahui kenapa dan bagaimana. Yang ada hanyalah "Substansi" yang ditunjukkan, bahwa Dia tiada bisa disifati dan tiada Sifat itu sendiri, bahkan tiada lagi Dzat. Segala Predikat, Asma' dan Sifat telah sirna, maka tiada Nama, tiada Sifat dan tiada Dzat. Maka, muncullah "Yang" senantiasa Muncul, tiada sebab-akibat. Tetapi Dia menampakkan Rasia BatinNya, bagi DzatNya di dalam DzatNya, melalui pemunculan yang tiada awalnya. Namun Dia memandang dari DzatNya, bagi DzatNya, dengan DzatNya di dalam DzatNya. Para hamba itu hidup melalui PemumunculanNya dengan kehidupan yang tiada sebab-akibat di dalamnya. Lalu tampillah dengan seluruh Sifat-sifat yang Indah, yang tiada tahu mengapa dan bagaimana.

Jadilah ia yang pertama muncul, tiada kemunculan sebelumnya. Lantas menemukan segala sesuatu bersama Sifat-sifat-Nya, kemudian muncullah cahayaNya di dalam cahayaNya.

Pertama-tama yang muncul adalah SirrNya (rahasia batin), lalu muncullah (melalaui Sirr itu) kalbuNya, lantas muncul AmarNya melalui SirrNya di dalam SirrNya. Lalu muncullah segala dzat melalaui AmarNya di dalam Cahaya al-Qalam melalui Cahaya al-Qalam. Kemudian muncullah AkalNya dengan AmarNya dalam AmarNya, dan muncullah (dengan itu ) ArasyNya di dalam Cahaya LauhNya dengan Cahaya Lauh itu sendiri. Lantas muncullah RuhNya melalui AkalNya, dan melalui RuhNya muncullah KursiNya di dalam Cahaya ArasyNya melalui Cahaya Arasy itu sendiri. Lalu muncul jiwanya melalui kalbuNya, lalu muncullah melalui jiwaNya, orbit bagi kebajikan dan keburukan di dalam Cahaya HijabNya melalui Caha Hijab itu sendiri. Lalu muncul Jisim melalui JiwaNya di dalam JiwaNya, maka muncullulah melalui Jisim itu seluruh Jisim Alam Kasar baik di bumi maupun di langit.

Kesimpulannya, setiap alam kasar berada dalam Cahaya orbit melalui Cahaya orbit. Sehingga pijakan pertamanya bagi hamba tercinta yang sunyi ini adalah membuang jiwanya pada ketiadaan, yaitu pembuangan dalam wahana tiada sebab akibat. Yaitu menghadap pada ketiadaan melalui pengguguran sifat awwaliyah, akhiriyah, dzahiriyah dan bathiniyah.

Sehingga yang terjadi adalah menghadapkan sifat ketiadaan pada ketiadaan itu sendiri. Erti sifat ketiadaan bagi ketiadaan itu adalah segala hal yang berakhir pada pangkal tiada aksioma sebab akibat. Yaitu menyaksikan Allah Ta'ala seperti tiada penyaksian yang berhubungan, tetapi tidak terpisah. Penyaksiaan yang tiada sedikitpun adanya peluang kealpaan, dimana dalil pembuktiannya tidak ada aksioma sebab akibat di dalamnya mahupun baginya, yaitu penyaksian Ketiadaan Murni.

Erti dari tidak adanya pembuktian sebab akibat yaitu kelaziman tiadanya penyaksiaan terhadap makhluk-makhluk yang bisa disaksikan, kemudian secara berurutan, dari ketiadaan murni itu, yaitu Mabuk dalam Lupa yang abadi, bahkan lupa terhadap kehidupan yang ditunjukkan dalam wacana pada posisi ini.

Ternyata, jalan hamba ini adalah Jalan Luhur, atau apa yang disebut dengan terlempar ke dalam Lautan Dzat, lantas ia tiada, lalu dihidupkan dengan kehidupan yang baik, kemudian dipindahkan - tanpa harus pindah - ke Lautan Sifat, kemudian Lautan Amar Rabbany, kemudian Lautan Sirri, lalu Lautan al-Qalam yang masih asli , lantas Lautan Ruh, kemudian Lautan Kalbu, lalu Lautan Nafsu, lantas Lautan Kebajikan , kemudian ia ditemukan dengan Lautan Sirri, lalu dilempar ke Lautan Qolamiyah, lalu Lautan Lauhiyah, kemudian Lautan Arsyiyah, lantas Lautan Kursy, kemudian Lautan Hijabiyah, kemudian Lautan Falakiyah. Ia dipertemukan dengan Lautan Sirri yang meliputi, kemudian dilempar ke Lautan Malakiyah, lalu ke Lautan Abalisah (keiblisan), kemudian Lautan Jinsiyah, baru ke Lautan Unsiyah.

Disana ia bertemu dengan Lautan Sirri, lalu dilemparkan ke Lautan Syurgawi, lalu Lautan Nirani (kenerakaan), kemudian dilempar ke Lautan Ihathah (keseluruhan yang meliputi) yaitu Lautan Sirri, lalu tenggelamlah di sana dalam ketenggelaman yang tidak keluar lagi selama-lamanya kecuali atas Izin-Nya. Bila Allah menghendaki ia diutus sebagai ganti dari Rasul yang menghidupkan para hambaNya. Jika Dia berkehendak lain, Dia menutupinya. Dia bertindak sesuai dengan kehendakNya.

Setiap Lautan dari Lautan-lautan itu, meliputi berbagai Lautan di sana, dimana jika orang yang Shaleh pengganti Rasul masuk di dalam Lautan paling kecil saja dari Lautan-lautan itu, pasti ia tenggelam di dalamnya dan tidak akan selamat lagi (mentas).

Semua itu merupakan gambaran Thariqat Umum dan Khusus. Hanya Allah Sendiri yang Terpuji.

Proyeksi yang dijadikan ilustrasi di atas sekaligus menggambarkan bagaimana tahapan spiritual, namun sekaligus juga maqam dan haal ruhani para Sufi. Lebih dari itu menggambarkan peta dunia metafisis dan struktur Wujud itu sendiri dalam perspektif teosofis.

Minggu, 19 Desember 2010

Konsep Nur Muhammad di Dunia Melayu


نحمده ونصلى على رسوله الكريم

KONSEP NUR MUHAMMAD DI DUNIA MELAYU

DALAM KONTEKS WACANA SUNNI

- SATU PENGAMATAN AWAL

OLEH:
MUHAMMAD ‘UTHMAN EL-MUHAMMADY (UEM)



Tulisan ini insha' Allah akan membicarakan konsep "Nur Muhammad" sebagaimana yang ada dalam beberapa teks Islam Dunia Melayu seperti teks Nur al-Din al-Raniri, Syaikh Zain al-‘Abidin al-Fatani, antara lainnya, semoga Allah memberi rahmat kepada mereka semuanya. Juga akan diberikan perhatian kepada "Madarij al-Su'ud" dalam Bahasa Arab, karangan Syaikh Nawawi al-Bantani, rahimahu'Llahu Ta'ala. Pengamatan akan diberikan berdasarkan sumber-sumber tafsir dan hadith yang muktabar di kalangan Ahlis-Sunnah wal-jama'ah. Dengan ini diharapkan sangkaan yang tidak enak dan tidak manis terhadap para ulama kita akan dihilangkan, dan kita beradab dengan mereka sebagaimana yang dikehendaki dalam hadith "al-din al-nasihah" dalam hubungan dengan ‘a'immatul-Muslimin', antaranya sebagaimana yang dihuraikan oleh al-muhaddithin seperti Imam al-Nawawi rd. Sudah tentu ini adalah satu keperluan dalam menunjukkan kemuliaan Nabi s.a.w. yang bukan hanya "basyar" atau manusia yang terjadi daripada tanah seperti anak-anak Adam yang lain. Ini adalah selain daripada keperluan kita mencari kejernihan dan kebenaran dalam ilmu.

Penulis ini yang menyedari dirinya bukan ahli dalam bidang ini bergantung kepada panduan teks-teks ulama Sunni dalam bidang yang berkenaan dan amat memerlukan teguran mereka yang pakar di dalamnya. Mudah-mudahan kita ini mengenali Nabi kita sebenarnya, mencintainya dan dengan itu kita cinta kepada Allah dan mendapat rahmatNya. Amin.

Kitab Syaikh Nur al-Din al-Raniri rh

Syaikh Nur al-Din al-Raniri menulis tentang tajuk ini dalam kitabnya Bad' Khalq al-Samawat wa al-Ard yang tercetak di tepi kitab Taj al-Muluk (tanpa tarikh). (Lihat tulisan penulis ini "Kosmologi para Fuqaha & Ulama Sufiah Dalam pemikiran Melayu", dalam Kosmologi Melayu, penyelenggaraan Yaacob Harun, Akademi Pengajian Melayu, Universiti Malaya, Kuala Lumpur, 2001, hal.10-22). Antara nas-nas yang disebut di dalamnya ialah hadith qudsi yang terkenal yang bermaksud: "Aku adalah perbendaharaan yang tersembunyi, maka Aku kasih bahawa Aku dikenali, maka Aku jadikan makhluk, maka dengannya mereka mengenaliKu". (Bad' Khalq al-Samawat wa al-Ard, hal. 10). Juga dinukilnya hadith bermaksud: "Sesungguhnya Allah menjadikan ruh nabi dari zatNya dan Ia menjadikan alam semuanya dari ruh Muhammad s.a.w." (ibid. 10). Maksudnya Ia menjadikan ruh nabi daripada tidak ada kepada ada dari SisiNya, bukannya bermakna bahawa sebahagian daripada Tuhan dijadikan ruh nabi. Dinukilnya juga hadith yang bermaksud: "Aku (Nabi s.a.w.) dari Allah, dan orang mu'min dariku". (ibid. 10). Ertinya sebagaimana yang dihuraikannya sendiri bahawa nabi adalah makhluk yang pertama yang dijadikan Allah dan sekelian orang mu'min itu dijadikan Allah daripada Baginda (iaitu daripada nurnya). (ibid. hal. 10). Dinukilkan beliau juga hadith yang bermaksud: "Aku (Tuhan) menjadikan segala perkara kerana engkau (wahai Muhammad) dan Aku jadikan engkau keranaKu" (ibid. 10). Juga dinukilkannya hadith yang bermaksud "kalaulah tidak kerana engkau Aku tidak jadikan sekelian falak ini." (ibid. 11). Dinukilkan beliau juga hadith yang bermaksud: "Aku telahpun menjadi nabi walhal Adam berada antara air dan tanah" (ibid. 11).

Kemudian beliau menukil hadith nur Muhammad. Antaranya ialah yang bermaksud: "Perkara yang paling awal yang diciptakan Allah ialah akal" (ibid. 11); dan yang bermaksud: "Perkara yang paling awal yang diciptakan Allah ialah al-Qalam", (ibid. 11); dan yang bermaksud: "Perkara yang awal sekali yang diciptakan Allah ialah ruh-ruh" (ibid. 11). Beliau menghuraikan bahawa akal, qalam, dan ruh itu ialah kejadian nur Muhammad s.a.w. sebagaimana yang ternyata daripada hadith yang dinukilkan beliau yang bermaksud: "Perkara yang paling awal yang diciptakan Allah ialah nurku" (ibid. 11). Dinukilkannya juga hadith yang bermaksud: "Perkara yang paling awal yang dijadikan Allah ialah ruhku". (ibid. 11).

Mengikut Syaikh Nur al-Din, Allah menjadikan Nur Muhammad itu daripada pancaran Nur AhadiahNya, yang beliau nukilkan ialah kenyataan kitab al-Manzum yang bermakna: "Telah berdempeklah sifat Jalal dan Sifat Jamal, maka ghaliblah Jamal itu atas sifat jalal, maka dijadikan Allah daripada dua sifat itu Ruh Muhammad, iaitu daripada ‘adam kepada wujud (daripada tidak ada kepada ada - uem) (Bad' Khalq al-Samawat wa al-Ard.12). Kita perlu nyatakan bahawa yang dijadikan itu makhluk juga, bukannya sambungan daripada zat atau Diri Tuhan, sebab kalau demikian ada dua yang kadim, dan itu kesyirikan.

Kata beliau bahawa selepas Allah menjadikan Nur Muhammad atau Ruh Muhammad itu Ia tilik kepadanya dengan tilik mahabbah atau kasih, maka ia malu dan berpeluh, dari peluhnya itulah dijadikan ruh-ruh sekelian anbia, aulia dan nyawa sekelian orang mu'min yang salih, dan daripada nyawa sekelian mu'min yang salih itu dijadikan nyawa sekelian mu'min yang fasik, daripada mu'min yang fasik dijadikan nyawa sekelian mu'min yang munafik dan mereka yang kafir. (ibid. 13).

Dan dijadikan daripada insan nyawa insan itu nyawa sekelian malaikat, dan daripada malaikat itu nyawa sekelian jin, dan daripada jin itu nyawa sekelian syaitan, dan daripada syaitan itu nyawa sekelian binatang, daripada binatang itu nyawa sekelian tumbuh-tumbuhan, setengahnya mempunyai martabat yang melebihi yang lainnya; jadilah pula segala jenis nafas tumbuh-tumbuhan itu dan segala anasir itu iaitu hawa, api, air dan angin (ibid. 13).

Kemudian beliau menyebut bagaimana Allah menilik dengan tilikan haibah pula, hancurlah ia, setengahnya menjadi air, setengahnya menjadi api yang menghanguskan air, keluarlah asap, naik ke angkasa, daripadanya di Allah tujuh petala langit. Setelah itu ada bakinya yang tinggal, daripadanya dijadikan matahari, bulan, dan bintang. (ibid.13). Demikian seterusnya.

Beliau menukilkan pula riwayat yang lain, yang masyhur, bahawa Allah menjadikan sepohon kayu dengan empat dahannya, dinamakan Syajaratul-Yaqin. Kemudian dijadikan Nur Muhammad dalam bentuk burung merak, diletakkan atas pohon itu, lalu ia mengucap tasbih kepada Allah, selama tujuh puluh ribu tahun. Bila merak itu terpandang terlalu cantik rupanya, dengan elok bulunya, dan lainnya, sujudlah ia lima kali sujud, jadilah sujud itu kemudiannya sembahyang lima waktu yang wajib atas umat Muhammad s.a.w.

Kemudian dikisahkan bahawa Allah menjadikan kandil daripada akik yang merah. (ibid. 15).

Kemudian Syaikh Nur al-Din menukil riwayat yang menyebut Nur Muhammad dalam bentuk burung merak

Kitab "Kashf al-Ghaibiyyah" oleh Zain al-‘Abidin al-Fatani rh:

Antara kitab Jawi yang popular sebagai rujukan ialah kitab "Kashf al-Ghaibiyyah"

Dalam kitab "Kashf al-Ghaibiyyah" (berdasarkan karangan asalnya "Daqa'iq al-Akhbar fi Dhikr al-Jannah wa al-Nar" karangan Imam ‘Abd al-Rahim bin Ahmad al-Qadhi, dan kitab "Durar al-Hisan" karangan al-Suyuti, dan "Mashariq al-Anwar" oleh Shaikh Hasan al-‘Adawi antara lainnya), oleh Syaikh Zain al-‘Abidin al-Fatani rh (Maktabah wa Matba'ah dar al-Ma'arif, Pulau Pinang, t.t.) Kitab ini dikarang oleh beliau pada tahun 1301 Hijrah. Pada halaman 3 dst. terdapat bab awal berkenaan dengan penciptaan roh teragung, (al-Ruh al-A'zam), iaitu nur Nabi kita Muhammad ‘alaihis-salatu was-salam. Kata beliau:

"Sesungguhnya telah datang pada khabar oleh bahawasanya Allah taala telah menjadi ia akan satu pohon kayu baginya empat dahan, maka menamai akan dia Syajarat al-Muttaqin (Pokok Orang-orang yang bertaqwa), dan pada setengah riwayat Shajarah al-yaqin (Pokok Keyakinan), kemudian telah menjadi ia akan Nur Muhammad di dalam hijab daripada permata yang sangat putih seu(m)pama rupa burung merak dan dihantarkan ia akan dia atas demikian pohon kayu itu , maka mengucap tasbihlah oleh Nur itu atas pohon kayu itu kadar tujuh puluh ribu tahun, kemudian menjadi akan cermin kemaluan maka dihantarkan akan dia dengan berhadapannya; maka tatkala menilik oleh merak itu di dalam cermin itu melihat ia akan rupanya terlebih elok dan terlebih perhiasan kelakuan, maka malu ia daripada Allah taala, maka lalu berpeluh ia maka titik daripadanya enam titik, maka menjadi oleh Allah taala daripada titik yang pertama akan ruh Abu Bakar radiya'Llahu ‘anhu, dan daripada titik yang kedua itu akan ruh ‘Umar radiya'llahu ‘anhu dan daripada titik yang ketiga itu akan ruh ‘Uthman radiya'Llahu ‘anhu, dan daripada titik yang keempat itu akan ruh ‘Ali radiya'Llahu ‘anhu, dan daripada titik yang kelima itu akan pohon bunga mawar dan daripada titik yang keenam itu akan padi" (hal. 3).

Kemudian disebut bagaimana Nur Muhammad itu sujud lima kali, dengan itu, menjadi fardu sujud, lalu difardukan sembahyang yang lima waktu atas Muhammad dan ummatnya. Kemudian disebut Allah menilik kepada nur itu, lalu ia malu, berpeluh kerana malunya. Daripada peluh hidungnya Allah jadikan malaikat, daripada peluh mukanya Allah jadikan ‘Arasy, Kursi, Lauh dan Qalam, matahari, bulan, hijab, segala bintang, dan barang-barang yang ada di langit. Daripada peluh dadanya dijadikan anbia, mursalin, ulama, syuhada dan solihin. Daripada peluh belakangnya dijadikan Bait al-ma'mur, Ka'bah, Bait al-Maqdis, dan segala tempat masjid dalam dunia. (hal. 3-4).

Disebutkan beberapa kejadian lagi daripada peluhnya itu:
  • Daripada peluh dua kening: mukminin dan mukminat dari umat Muhammad;
  • Daripada peluh dua telinganya: arwah Yahudi dan Nasrani, dan Majusi, golongan mulhid, kafir yang engkar kebenaran, munafikin.
  • Daripada peluh dua kaki: segala bumi dari Timur dan Barat dan yang ada di dalamnya (hal. 4)

Kemudian Allah memerintah nur itu supaya memandang ke hadapan, di hadapannya ada nur, di kanan dan kirinya juga nur. Mereka itu ialah Abu Bakar, ‘Umar, ‘Uthman, dan ‘Ali. Kemudian Nur itu mengucap tasbih selama tujuh puluh ribu tahun.

Kata pengarang: dijadikan nur para anbia daripada Nur Muhammad s.a.w.; ertinya dijadikan arwah para anbia daripada peluh ruh Muhammad s.a.w., dan dijadikan segala ruh umat anbia itu daripada peluh arwah anbia mereka itu.

Kemudian diriwayatkan bahawa dijadikan oleh Allah kandil daripada akik yang merah, dilihat orang akan zahirnya itu daripada bahagian dalamnya, kemudian dijadikan rupa Muhammad seperti Baginda di dunia ini, kemudian diletakkan di dalam kandil tersebut, berdiri Baginda di dalamnya seperti berdirinya di dalam sembahyang; kemudian berkeliling roh segala anbia dan lainnya di sekeliling kandil nur Muhammad ‘alaihis-salam, mengucap tasbih dan mengucap tahlil mereka itu selama seratus ribu tahun; kemudian Allah menyuruh segala ruh itu menilik kepadanya; yang menilik kepada kepalanya menjadi khalifah dan sultan antara sekelian makhluk; yang menilik kepada dahinya menjadi amir yang adil; yang menilik kepada dua matanya menjadi hafiz kalam Allah; yang melihat dua keningnya menjadi tukang lukis; yang melihat kepada dua telinganya jadilah ia menuntut dengar dan menerima (pengajaran); yang melihat dua pipinya jadilah ia berbuat baik dan berakal; yang melihat dua bibir mulutnya menjadi orang-orang besar raja. Yang melihat hidung menjadi hakim dan tabib dan penjual bau-bauan. Yang melihat mulut menjadi orang puasa. Demikian seterusnya dengan melihat anggota tertentu, jadilah orang itu mempunyai sifat-sifat tertentu di dunia nanti. Misalnya yang melihat dadanya menjadi orang alim, mulia dan mujtahid. (hal. 5). Dan orang yang tidak menilik sesuatu kepadanya jadilah ia mengaku menjadi Tuhan seperti Fir'aun dan yang sepertinya. (hal. 5).

Beliau menyebut hadith qudsi

Adalah Aku perbendaharaan yang tersembunyi maka Aku kehendak akan diperkenal akan daku maka Aku jadikan segala makhluk supaya dikenalnya akan daku. (hal. 6)

Kemudian beliau menyebut hadith Nabi s.a.w.

Ertinya yang awal-awal barang yang suatu dijadikan Allah taala itu nurku dan pada suatu riwayat ruhku. Kata pengarang ini: Maka adalah sekelian alam ini dijadikan Allah subhanahu taala daripada sebab nur Muhammad s.a.w. seperti yang teleh tersebut. Lalu ia menyebut pula haditrh qudsi:

Ertinya: Aku jadikan segala perkara itu kerana engkau ya Muhammad dan Aku jadikan akan dikau itu kerana Aku, yakni dijadikan nur Muhammad itu dengan tiada wasitah suatu jua pun. (hal. 6)

Melalui kitab terkenal ini tersebar fahaman tentang konsep Nur Muhammad di kalangan Muslimin sebelah sini.

Bab yang berikutnya ialah tentang penciptaan Adam a.s. (hal 6 dst).

Kitab al-Kaukab al-Durri fi al-Nur al-Muhammadi oleh Syaikh Muhammad bin Isma'il Daud al-Fatani rh

Kitab ini (terbitan Khazanah al-Fattaniyyah, Kuala Lumpur, 2001). Kitab ini yang dikarang oleh penulisnya pada tahun 1304 Hijrah, di Makkah, berbicara tentang tajuk yang berkenaan dari halaman 2-7. Isinya berdasarkan riwayat Ka'ab al-Akhbar, sebagaimana yang ada dalam kitab "Kashf al-Ghaibiyyah" karangan Syaikh Zain al-‘Abidin al-Fatani. Antaranya maklumatnya ialah: Tuhan menggenggam satu genggam daripada NurNya, diperintah ia menjadi Muhammad, ia menjadi Muhammad, ia menjadi tiang, ia sujud kepada Allah, dibahagi nur itu kepada empat bahagi, pertama menjadi Lauh, kedua Qalam, perintah menulis kepada Qalam, sampai kepada umat nabi-nabi, yang taat dan yang derhaka, dengan akibat-akibat mereka. Sampai disebutkan riwayat tentang sesiapa yang melihat nur itu pada bahagian-bahagian tertentu jadilah ia mempunyai sifat-sifat tertentu. Sekelian makhluk dijadikan daripada nurnya. Ia berakhir dengan menyebut makhluk sembahyang dengan huruf nama Ahmad dan Muhammad, berdiri qiyam seumpama alif, ruku' seumpama ha', sujud seumpama mim, duduk seperti rupa dal. Juga dikatakan makhluk dijadikan atas rupa huruf nama Muhammad, kepala bulat seperti mim, dua tangan seperti rupa ha', perut seperti rupa mim, dua kaki seperti rupa dal.

Kitab "Daqa'iq al-Akhbar fi Dhikr al-jannah wa al-Nar" terjemahan Melayu oleh Syaikh Ahmad ibn Muhammad Yunus Langka:

Kitab ini diterjemahkan oleh beliau pada 1312 Hijrah di Makkah dahulunya diterbitkan oleh dar Ihya' al-Kutub al-‘Arabiyyah, Mesir. Kemudian ia diterbitkan oleh Maktabah wa matba'ah al-ma'arif, Pulau Pinang, tanpa tarikh. Isi kitab ini berkenaan dengan nur Muhammad s.a.w., asal kejadiannya, bagaimana semua makhluk dijadikan daripadanya adalah sebagaimana yang telah disebutkan oleh Syaikh Zain al-‘Abidin dalam "Kasshf al-Ghaibiyah"nya yang menjadikan kitab ini sebagai satu daripada sumber-sumbernya, sebagaimana yang dinyatakan dalam bahagian permulaan kitabnya. Bab pertamanya sama isinya dengan apa yang ada dalam kitab terjemahan ini.

Kitab Madarij al-Su'ud oleh Nawawi al-Bantani rh

Kitab "Madarij al-Su'ud ila ‘ktisa' al-Burud", dalam Bahasa Arab, syarah bagi kitab "Maulid al-Barzanji". Dalam mensyarahkan kata-kata dalam "al-Barzanji" hal. 2-3 (Surabaya, tanpa tarikh dan Singapura, tanpa tarikh) bermaksud "Segala puji-pujian bagi Allah yang membuka (seluruh) wujud ini dengan Nur Muhammad (‘al-Nur al-Muhammadi") yang mengalir dalam tiap-tiap perkara (perkara yang ditakdirkannya oleh Allah taala sebelum daripada Ia menjadikan langit-langit dan bumi selama lima puluh ribu tahun.

Kemudian kata Syaikh Nawawi rh lagi menukil Ka'ab al-Akhbar Allah meredhainya: "Bila Allah hendak menjadikan sekelian makhluk dan mengamparkan bumi dan menegakkan langit, Ia mengambil segempal daripada nurNya firmanNya Jadilah kamu Muhammad, maka jadilah ia sebagai tiang daripada nur dan gemilang bercahaya sehingga sampai kepada hijab zulmah kemudian ia sujud, sambil katanya: Al-hamdulillah, kemudian Allah berfirman kerana itu Aku jadikan engkau dan menamakan engkau Muhammad, daripada engkau Aku memulakan penciptaan dan (dengan engkau) Aku mengkhatamkan sekelian rasul; kemudian Allah taala membahagikan nurnya itu kepada empat bahagian, dijadikan daripada yang pertamanya Lauh daripada yang keduanya al-qalam, kemudian Allah berfirman kepada Qalam tulislah, kemudian qalam ... selama seribu tahun kepara kehebatan Kalam Allah taala kemudian ia berkata; Apa yang hamba hendak tuliskan, Tuhan berfirman ‘Tulislah ‘la ilaha illa'Allah Muhammadun Rasulullah' maka Qalam pun menulis yang demikian itu, kemudian ia menjadi terbimbing kepada Ilmu Allah dalam makhlukNya, kemudian ia menulis anak-anak Adam sesiapa yang taatkan Allah dimasukkanNya ke dalam Syurga dan sesiapa yang derhaka kepadaNya dimasukkanNya ke dalam Neraka;

Kemudian (ia menulis) tentang umat Nuh, sesiapa yang taatkan Allah dimasukkanNya ke dalam Syurga dan sesiapa yang derhaka kepadaNya dimasukkanNya ke dalam Neraka...

Demikian seterusnya dengan menyebut umat nabi Ibrahim, ... umat nabi Musa ..., umat Nabi ‘Isa ..., sampai kepada umat nabi Muhammad s.a.w., ... kemudian bila Qalam hendak menulis sesiapa yang derhaka dari umat Muhammad akan dimasukkan ke dalam Neraka, terdengar suara dari Tuhan yang Maha Tinggi ‘wahai Qalam, beradablah, maka pecahlah Qalam kerana rasa haibah itu, ..., kemudian ini diikuti dengan sebutan tentang bahagian ketiga dijadikan ‘Arasy, dan bahagian yang keempat dibahagi empat pula daripada yang awalnya dijadikan akal, daripada yang kedua dijadikan ma'rifah, daripada yang ketiga dijadikan cahaya ‘Arasy, dan cahaya mata, serta cahaya siang, maka tiap-tiap cahaya ini adalah daripada Nur Muhammad.

Kemudian dinyatakan yang bahagian yang keempat itu diletakkan di bawah ‘Arasy sehinggalah Allah menjadikan Adam a.s., maka Allah letakkan nur itu pada belakangnya, dan dijadikan para malaikat sujud kepadanya, dimasukkannya ke dalam Syurga, walhal para malaikat bersaf di belakang Adam, melihat kepada nur Muhammad. Bila Adam alaihis-salam bertanya mengapa malaikat berdiri di belakangnya bersaf Allah menjawab mereka itu sedang melihat kepada nur kekasihNya Muhammad yang menjadi khatam sekelian rasul dan anbia. Kemudian Adam meminta nur itu dipindahkan ke hadapan, lalu diletakkan pada dahi Baginda. Maka malaikat mengadap wajahnya pula. Adam meminta pula dipindahkannya lalu diletakkan pada jari telunjuknya supaya ia boleh melihatnya; maka bertambah-tambahlah cantiknya nur itu. Kemudian disebut nur itu dipindah kepada Hawwa', kemudian kepada nabi Shith, dan seterusnya. Demikianlah nur itu berpindah daripada satu rahim yang suci kepada rahim suci yang lain, sampai ia kepada sulbi ‘Abdullah bapanya, kemudian keluarlah ia ke dunia melalui rahim ibunya. (hal. 3).

Perbincangan tentang punca-punca konsep Nur Muhammad:

Antara punca-punca konsep Nur Muhammad ini ialah sebutan-sebutan tentangnya dalam Qur'an dan Sunnah.

Dalam al-Qur'an terdapat sebutan tentang "nur" dalam ayat yang bermaksud "Sesungguhnya telah datang kepadamu Nur dari Allah dan Kitab yang nyata" (Al Quran 5:15).

Tentang ayat di atas "Tafsir al-Jalalain" oleh al-Suyuti menyatakan makna nur itu ialah "rasulullah s.a.w.".

Dalam "Tafsir al-Qurtubi" dinyatakan begini:

Telah datang kepada kamu Nur dari Allah, iaitu cahaya, dikatakan "Islam", dan dikatakan: Muhammad s.a.w. dari al-Zajjaj. Dan "kitab" itu dikatakan Qur'an.

Dalam "Tafsir al-Tabari" "nur": telah datang kepada kamu wahai ahli Taurat dan Injil Nur dari Allah, yakni Nur itu Muhammad salla'Llahu ‘alaihi wa sallam yang dengannya dicerahkan kebenaran dizahirkan Islam dan dihapuskan kesyirikan.

Dalam "Tafsir ibn Kathir" tentang ayat ini (Al Quran 5:15) dinyatakan:

Telah datang kepada kamu Nur dari Allah dan kitab yang nyata, Allah taala memberi khabar berekenaan dengan diriNya sendiri bahawa Ia mengutuskan RasulNya Muhammad dengan Bimbingan Hidayat dan Agama yang hak kepada semua ahli bumi.

Berkenaan dengan ayat 119 Surah al-Syu'ara'

Dan perubahan gerak engkau di kalangan mereka yang sujud

Kata Mujahid dan Qatadah: (perubahan gerak engkau di kalangan mereka yang sujud) iaitu di kalangan mereka yang sembahyang. Kata Ibn ‘Abbas: dalam sulbi-sulbi bapa-bapa kamu (turun temurun) Adam, Nuh, dan Ibrahim, sehingga Allah keluarkan Baginda sebagai nabi (akhir zaman). Kata ‘Ikrimah: Melihat engkau berdiri, ruku', sujud; Ibn ‘Abbas juga berpendapat demikian.

Jumat, 17 Desember 2010

Hakikat Insan

Dalam pengajian Ilmu Hakikat adalah dilarang sama sekali mendatangi dan juga pengetahuan ini di sampaikan kepada Ulama Syarii dan adalah di nasihatkan supaya bertanya, berguru dengan ahli hakikat lagi makrifat lagi Mursyid.Jangan sesekali kata sesat nescaya sesat itu akan balik pada diri sendiri yang mengata.!!!
Selain dari cara syariaat dan cara tarikat,terdapat satu lagi untuk merapatkan hubungan antara hamba dan tuhannya iaitu cara jalan hakikat.Cara hakikat merupakan cara yang ketiga iaitu satu cara mendalami ilmu hakikat dengan menyelami dan mengenali diri sendiri, yang merupakan satu - satu jalan yang di lalui oleh wali - wali Allah, ariffinbillah dan para - para aulia.
Mereka yang menjalani pengajian ilmu hakiki ini akan beriktiar dengan tekun dan tabah untuk merapatkan hubungan dengan dirinya dengan Allah S.W.T.,dengan cara membongkar menyeliki dan menyaksikan diri sendiri iaitu diri rahsia yang di tanggung oleh dirinya dan berusaha untuk membentuk dinya menjadi kamil - mukamil.
Bagi mereka yang ingin melalui cara hakiki ini adalah di nasihatkan terlebih dahulu melalui cara Tarukat dan berjaya pula membersihkan dirinya dari dari segala bentuk syirik “saghir”, syirik “khafi” dan dan syirik “jalli.” Mereka hendaklah menjalani perguruan dengan guru - guru hakiki dan makrifat serta muryid yang mempunyai pengetahuan yang luas serta mencapai pula ke tahap martabatnya.#Untuk pengetahuan lebih jelas silalah bertanya dengan guru - guru, makrifat lagi mursyid.
Orang - orang hakiki yang sampai pada martabatnya bukan saja mulia di sisi Allah malah mendapat pula kemuliannya di tengah masyarakat. Adalah perlu ditegaskan di sini matlamat akhir pengajian HAKIKAT adalah untuk megembalikan diri Asal Mu Mula Allah iaitu pada Zahir dan Batin yakni pada diri zahir dan diri batin pada martabat kemuliaan insan Kamil mukamil. Tiada sesuatu pun pada dirinya kecuali Allah semata - mata. Dan balik mu semula Allah.
Untuk itu pengajian hakikat ini mestilah ada kesinambungan dengan pengajian Makrifat. Sesungguhnya kata hakikat dan makrifat dua perkataan yang tidak boleh di pisahkan.
1.MARTABAT TUJUH
Dalam memperkatan Alam Tujuh atau Martabat Tujuh ini, ia tidak lepas dari memperkatakan “Asal Mu Mula Balik Semula Pada Tuhan” Ini di sandarkan firman Nya yang bermaksud ;
“Innalillah Wa inna ilai-i rajiun.”
Jatuh hujunnya Asal Mu Allah Balik Mu semula Allah.
Oleh itu disini dua aspek utama diperkatakan;
1.Asal Kejadian Manusia yang dinyatakan melalui penjelasan pada Martabat Tujuh Atau Martabat Alam Insan.
2. Balik Mu semula Allah iaitu memperkatakan persiapan untuk menyarah atau mengembalikan Diri rahsia yang di kandung oleh jasad sebagaimana asalnya suci bersih.

Diri Empunya Diri mentajallikan dirinya dari satu martabat ke satu martabat atau dari satu alam ke satu satu alam.Dalam kita memperkatakan alam atau Martabat Tujuh atau Martabat Alam Insan yang dikenali juga Martabat tujuh, terkandung ia di dalam Surah Al-Ikhlas di dalam Al Quran iaitu dalam menyatakan tentang kewujudan Allah yang menjadi diri rahsia kepada manusia itu sendiri dan memperkatakan pada proses pengujudan Allah untuk diterima oleh manusia sebagai diri rahsianya.
Proses pemindahan atau Tajalli Zat Allah S.W.T bermula dari Alam Qaibbul-Quyyub, terbentuk diri zahir dan diri batin manusia ketika ianya mulai bernafas di dalam kandungan ibu kemudiannya zahir ke dunia iaitu kerana pada martabat Qaibbul-Guyyub adalah merupakan martabat manusia yang paling tingggi, suci dan inilah martabat yang benar-benar di redhai oleh Allah S.W.T.
Diri manusia pada martabat “Insannul-Kamil” adalah sebatang diri yang suci mutlak pada zahir dan batin,tiada cacat celanya dengan Allah S.W.T. iaitu Tuan Empunya Rahsia. Lantaran itu Rasul Allah S.A.W pernah menegaskan dalam sabdanya;
“bahawa kelahiran seseorang kanak-kanak itu dalam keadaan yang suci, tetapi yang mencorakkannya menjadi kotor adalah ibubapanya”
Jadi ibubapalah yang mencorakkan sehingga kanak-kanak kotor termasuk masyarakatnya, bangsanya dan juga negaranya bersekali dengan manusia itu sendiri hanyut mengikut gelombang godaan hidupnya di dunia ini.
Oleh itu adalah menjadi tanggungjawab seorang manusia yang ingin kembali menuju jalan kesucian dan makrifat kepada Tuhannya, selayaknyalah dia mengembalikan dirinya kesuatu tahap yang dikenali “Kamilul-Kamil” atau di namakan tahap Martabat Alam Insan.
Dalam merkatakan tingkatan atau martabat pentajallian Allah Tuan Yang Empunya Diri yang menjadi rahsia manusia ianya melalui tujuh tingkatan.Tingkatan tersebut secara umumnya seperti di bawah.
1.Ahadah -Alam Lahut -Martabat Zat
2.Wahdah-Alam Jabarut - Martabat Sifat
3.Wahdiah-Alam Wahdiah - Martabat Asma
4.Alam Roh-Alam Malakut -Martabat Afaal
5.Alam Misal - Alam Bapa
6.Alam Ijsan- Alam Ibu
7.Alam Insan - Alam Nyata
1.MARTABAT TUJUH
1.1 ALAM AHDAH
Pada memperkatakan Alam Qaibull-Quyyub iaitu pada martabat Ahdah di mana belum ada sifat, belum ada ada asma’,belum ada afaal dan belum ada apa-apa lagi iaitu pada Martabat LA TAKYIN, Zat UlHaki telas menegaskan untuk memperkenalkan DiriNya dan untuk diberi tanggungjawab ini kepada manusia dan di tajallikanNya DiriNya dari satu peringkat ke peringkat sampai zahirnya manusia berbadan rohani dan jasmani.
Adapun Martabat Ahdah ini terkandung ia di dalam Al-Ikhlas pada ayat pertama iaitu{QulhuwallahuAhad), iaitu Sa pada Zat semata-mata dan inilah dinamakan Martabat Zat. Pada martabat ini diri Empunya Diri (Zat Ulhaki)Tuhan RabbulJalal adalah dengan dia semata-mata iaitu di namakan juga Diri Sendiri. Tidak ada permulaan dan tiada akhirnya iaitu Wujud Hakiki Lagi Khodim
Pada masa ini tida sifat,tida Asma dan tida Afa’al dan tiada apa-apa pun kecuali Zat Mutlak semata-mata maka berdirilah Zat itu dengan Dia semata-mata dai dalam keadaan ini dinamakan AINUL KAFFUR dan diri zat dinamakan Ahdah jua atau di namakan KUNNAH ZAT.
1.2 ALAM WADAH
Alam Wahdah merupakan peringkat kedua dalam proses pentajalliannya diri Empunya Diri telah mentajallikan diri ke suatu martabat sifat iaitu “La Tak Yin Sani” - sabit nyata yang pertama atau disebut juga martabat noktah mutlak iaitu ada permulaannyan.
Martabat ini di namakan martabat noktah mutlak atau dipanggil juga Sifat Muhammadiah. Juga pada menyatakan martabat ini dinamakan martabat ini Martabat Wahdah yang terkandung ia pada ayat “Allahus Shomad” iaitu tempatnya Zat Allah tiada terselindung sedikit pun meliputi 7 petala langit dan 7 bumi.
Pada peringkat ini Zat Allah Taala mulai bersifat. SifatNya itu adalah sifat batin jauh dari Nyata dan boleh di umpamakan sepohon pokok besar yang subur yang masih di dalam dalam biji , tetapi ia telah wujud,tdadak nyata, tetapi nyata sebab itulah ia di namakan Sabit Nyata Pertama martabat La Takyin Awwal iaitu keadaan nyata tetapi tidak nyata(wujud pada Allah) tetapi tidak zahir
Maka pada peringkat ini tuan Empunya Diri tidak lagi Beras’ma dan di peringkat ini terkumpul Zat Mutlak dan Sifat Batin. Maka di saat ini tidaklah berbau, belum ada rasa, belum nyata di dalam nyata iaitu di dalam keadaan apa yang di kenali ROH-ADDHAFI.Pada peringkat ni sebenarnya pada Hakiki Sifat.(Kesempurnaan Sifat) Zat Al Haq yang di tajallikannya itu telah sempurna cukup lengkap segala-gala. Ianya terhimpunan dan tersembunyi di samping telah zahir pada hakikinya.
1.3 ALAM WAHDIAH
Pada peringkat ketiga setelah tajalli akan dirinya pada peringkat “La takyin Awal”, maka Empunya Diri kepada Diri rahsia manusia ini, mentajallikan pula diriNya ke satu martabat As’ma yak ini pada martabat segala Nama dan dinamakan martabat (Muhammad Munfasal) iaitu keadaan terhimpun lagi bercerai - cerai atau di namakan “Hakikat Insan.”
Martabat ini terkandung ia didalam “Lam yalidd” iaitu Sifat Khodim lagi Baqa, tatkala menilik wujud Allah. Pada martabat ini keadaan tubuh diri rahsia pada masa ini telah terhimpun pada hakikinya Zat, Sifat Batin dan Asma Batin. Apa yang dikatakan berhimpun lagi bercerai-cerai kerana pada peringkat ini sudah dapat di tentukan bangsa masing - masing tetapi pada masa ini ianya belum zahir lagi di dalam Ilmu Allah Iaitu dalam keadaan “Ainul Sabithaah”. Ertinya sesuatu keadaan yang tetap dalam rahsia Allah, belum terzahir, malah untuk mencium baunya pun belum dapat lagi. Dinamakan juga martabat ini wujud Ardhofi dan martabat wujud Am kerana wujud di dalam sekelian bangsa dan wujudnya bersandarkan Zat Allah Dan Ilmu Allah.
Pada peringkat ini juga telah terbentuk diri rahsia Allah dalam hakiki dalam batin iaitu bolehlah dikatakan juga roh di dalam roh iaitu pada menyatakan Nyata tetapi Tetap Tidak Nyata.
1.4 ALAM ROH
Pada peringkat ke empat di dalam Empunya Diri, Dia menyatakan, mengolahkan diriNya untuk membentuk satu batang tubuh halus yang dinamaka roh. Jadi pada peringkat ini dinamakan Martabat Roh pada Alam Roh.Tubuh ini merupakan tubuh batin hakiki manusia dimana batin ini sudah nyata Zatnya, Sifatnya dan Afa’alnya.Ianya menjadi sempurna, cukup lengkap seluruh anggota - anggota batinnya, tida cacat, tiada cela dan keadaan ini dinamakan (Alam Khorijah) iaitu Nyata lagi zahir pada hakiki daripada Ilmu Allah. Tubuh ini dinamakan ia “Jisim Latiff” iaitu satu batang tubuh yang liut lagi halus. Ianya tidak akan mengalami cacat cela dan tidak mengalami suka, duka, sakit, menangis,asyik dan hancur binasa dan inilah yang dinamakan “KholidTullah.”
Pada martabat ini terkandung ia di dalam “Walam Yalidd”. Dan berdirilah ia dengan diri tajalli Allah dan hiduplah ia buat selama-lamanya. Inilah yang dinamakan keadaan Tubuh Hakikat Insan yang mempunyai awal tiada kesudahannya, dialah yang sebenarnyanya dinamakan Diri Nyata Hakiki Rahsia Allah dalam Diri Manusia.
1.5 ALAM MISAL
Alam Misal adalah peringkat ke lima dalam proses pentajallian Empunya Diri dalam menyatakan rahsia diriNya untuk di tanggung oleh manusia. Untuk menyatakan dirinya Allah S.W.T., terus menyatakan diriNya melalui diri rahsiaNya dengan lebih nyata dengan membawa diri rahsiaNya untuk di kandung pula oleh bapa iaitu dinamakan Alam Misal.
Untuk menjelaskan lagi Alam Misal ini adalah dimana unsur rohani iaitu diri rahsia Allah belum bercamtum dengan badan kebendaan. Alam misal jenis ini berada di Alam Malakut. Ia merupakan peralihan daripada alam Arwah (alam Roh) menuju ke alam Nasut maka itu dinamakan ia Alam Misal di mana proses peryataan ini ,pengujudan Allah pada martabat ini belum zahir, tetapi Nyata dalam tidak Nyata.
Diri rahsia Allah pada martabat Wujud Allah ini mulai di tajallikan kepada ubun - ubun bapa, iaitu permidahan dari alam roh ke alam Bapa (misal).
Alam Misal ini terkandung ia di dalam “Walam yakullahu” dalam surah Al-Ikhlas iaitu dalam keadaan tidak boleh di bagaikan. Dan seterusnya menjadi “DI”, “Wadi”, “Mani” yang kemudiannya di salurkan ke satu tempat yang bersekutu di antara diri rahsia batin (roh) dengan diri kasar Hakiki di dalam tempat yang dinamakan rahim ibu.Maka terbentuklah apa yang di katakan “Maknikam” ketika berlakunya bersetubuhan diantara laki-laki dengan perempuan (Ibu dan Bapa)
Perlu diingat tubuh rahsia pada masa ini tetap hidup sebagaimana awalnya tetapi di dalam keadaan rupa yang elok dan tidak binasa dan belum lagi zahir. Dan ia tetap hidup tidak mengenal ia akan mati.
1.6 ALAM IJSAN
Pada peringkat ke enam, selepas sahaja rahsia diri Allah pada Alam Misal yang di kandung oleh bapa , maka berpindah pula diri rahsia ini melalui “Mani” Bapa ke dalam Rahim Ibu dan inilah dinamakan Alam Ijsan.
Pada martabat ini dinamakan ia pada martabat “InssanulKamil” iaitu batang diri rahsia Allah telahpun diKamilkan dengan kata diri manusia, dan akhirnya ia menjadi “KamilulKamil”. Iaitu menjadi satu pada zahirnya kedua-dua badan rohani dan jasmani. dan kemudian lahirlah seoarang insan melalui faraj ibu dan sesungguhnya martabat kanak - kanak yang baru dilahirkan itu adalah yang paling suci yang dinamakan “InnsanulKamil”. Pada martabat ini terkandung ia di dalam “Kuffuan” iaitu bersekutu dalam keadaan “KamilulKamil dan nyawa pun di masukkan dalam tubuh manusia.
Selepas cukup tempuhnya dan ketkanya maka diri rahsia Allah yang menjadi “KamilulKamil” itu di lahirkan dari perut ibunya, maka di saat ini sampailah ia Martabat Alam Insan.
1.7 ALAM INSAN
Pada alam ke tujuh iaitu alam Insan ini terkandung ia di dalam “Ahad” iaitu sa (satu). Di dalam keadaan ini, maka berkumpullah seluruh proses pengujudan dan peryataan diri rahsia Allah S.W.T. di dalam tubuh badan Insan yang mulai bernafas dan di lahirkan ke Alam Maya yang Fana ini. Maka pada alam Insan ini dapatlah di katakan satu alam yang mengumpul seluruh proses pentajallian diri rahsia Allah dan pengumpulan seluruh alam-alam yang di tempuhi dari satu peringkat ke satu peringkat dan dari satu martbat ke satu martabat.
Oleh kerana ia merupakan satu perkumpulan seluruh alam - alam lain, maka mulai alam maya yang fana ini, bermulalah tugas manusia untuk menggembalikan balik diri rahsia Allah itu kepada Tuan Empunya Diri dan proses penyerahan kembali rahsia Allah ini hendaklah bermulah dari alam Maya ini lantaran itu persiapan untuk balik kembali asalnya mula kembali mu semula hendaklah disegerakan tanpa berlengah - lengah lagi.
********************************#####********#####***********************************
2.TUJUAN MARTABAT ALAM INSAN
1.Ada pun tujuan utama pengkajian dan keyakinan Martabat Alam Insan ini;
2 “bertujuan memahami dan memegang satu keyakinan Mutlak bahawa diri kita ini sebenar - benarnya bukanlah diri kita, tetapi kembalikan semula asalnya Tuhan.”
3.Dengan kata lain untuk memperpanjangkan kajian, kita juga dapat mengetahui pada hakikatnya dari mana asal mula diri kita sebenarnya hinggalah kita zahir di alam maya ini.
4.Dalam pada itu dapat pula kita mengetahui pada hakikatnya kemana diri kita harus kembali dan:
5.apakah tujuan sebenar diri kita di zahirkan.
3.Dalam memperkatakan Martabat Alam Insan
Dengan memahami Martabat Alam Insan ini , maka sudah pastilah kita dapat mengetahui bahawa diri kita ini adalah SifatNya Allah Taala semata-mata. Diri sifat yang di tajallikan bagi menyatakan SifatNya Sendiri yakni pada Alam saghir dan Alam Kabir.Dan Allah Taala Memuji DiriNya dengan Asma’Nya Sendiri dan Allah Taala menguji DiriNya Sendiri dengan Afa’alNya Sendiri.
Dalam memeperkatakan Martabat Alam Insan kita memperkatakan diri kita sendiri. Diri kita daripada Sifat Tuhan yang berasal daripada Qaibull-Quyyub (Martabat Ahdah) iaitu pada martabat Zat hinggalah zahir kita bersifat dengan sifat bangsa Muhammad. Oleh yang demikian wujud atau zahirnya kita ini bukan sekali-kali diri kita, tetapi sebenarnyadiri kita ini adalah penyata kepada diri Tuhan semesta alam semata-mata.
Seperti FirmanNya:
‘INNALILLA WAINNA ILAII RAJIUN’
Yang bermaksud; “Sesungguhnya diri mu itu Allah (Tuhan Asal Diri Mu) dan hendaklah kamu pulang menjadi Tuhan kembali”.
Setelah mengetahui dan memahami secara jelas lagi terang bahawa asal kita ini adalah Tuhan pada Martabat ahdah dan NyataNya kita sebagai SifatNya pada Martabat Alam Insan dan pada Alam Insan inilah kita memulakan langkah untuk mensucikan sifat diri kita ini pada martabat Sifat kepada Martabat Tuhan kembali iaitu asal mula diri kita sendiri atau Martabat Zat.
SEsungguhnya Allah S.W.T diri kita pada Martabat Ahdah menyatakan diriNya dengan SifatNya Sendiri dan memuji SifatNya Sendiri dengan AsmaNya Sendiri serta menguji SifatNya dengan afa’alNya Sendiri. Sesungguhnya tiada sesuatu sebenarnya pada diri kita kecuali diri Sifat Allah,Tuhan semesta semata - mata.

**********************************@@@@******************************************
4.PROSES MENGEMBALIKAN DIRI
Dalam proses menyucikan diri dan mengembalikan rahsia kepada Tuan Empunya Rahsia, maka manusia itu semestinya mempertingkatkan kesuciannya sampai ke peringkat asal kejadian rahsia Allah Taala.
Manusia ini sebenarnya mesti menerokai dan melalui daripada Alam Insan pada nafsu amarah ke Martabat Zat iaitu nafsu Kamaliah iaitu makam “Izzatul-Ahdah”. Lantaran itulah tugas manusia semestinya mengenal hakikat diri ini lalu balik untuk mengembalikan amanah Allah S.W.T. tersebut sebagaimana mula proses penerimaan amanahnya pada peringkat awalnya.
Sesunggunya Allah dalam mengenalkan diriNya melalui lidah dan hati manusia,maka Dia telah mentajallikan DiriNya menjadi rahsia kepada diri manusia. Sebagaimana diperkatakan dalam hadis Qudsi;
“AL INSANUL SIRRUHU WA ANA SIRRUHU”
Maksudnya; “Manusia itu adalah rahsiaKu dan aku adalah rahsia manusia itu sendiri”.
Mengenai martabat pengujudan diri rahsia Allah S.W.t.atau di kenali juga Martabat Tujuh, itu terbahagi ia kepada 7 Alam;
Ke tujuh-tujuh martabat atau alam ini terkandung ia di dalam surah -Al Ikhlas
QulhuwallahuAhad - Ahdah
Allahushomad - Wahdah
Lamyalidd - Wahdiah
Walamyuladd - Alam Roh (Alam Malakut)
Walamyakullahu - Alam Misal (Alam Bapa)
Kuffuan - Alam Ijsan
Ahad> - Alam Insan
Seperti FirmanNya lagi dalam Al- Quran

[33] Setelah diketahui demikian maka tidaklah patut disamakan Allah Tuhan yang berkuasa mengawas tiap-tiap diri dan mengetahui akan apa yang telah diusahakan oleh diri-diri itu, (dengan makhluk yang tidak bersifat demikian). Dalam pada itu, mereka yang kafir telah menjadikan beberapa makhluk sebagai sekutu bagi Allah. Katakanlah (wahai Muhammad): Namakanlah kamu akan mereka (yang kamu sembah itu). Atau adakah kamu hendak memberi tahu kepada Allah akan apa yang tidak diketahuiNya di bumi? Atau adakah kamu menamakannya dengan kata-kata yang lahir (sedang pada hakikatnya tidak demikian)? Bahkan sebenarnya telah diperhiaskan oleh Iblis bagi orang-orang yang kafir itu akan kekufuran dan tipu daya mereka (terhadap Islam) dan mereka pula disekat oleh hawa nafsu mereka daripada menurut jalan yang benar dan (ingatlah) sesiapa yang disesatkan oleh Allah (dengan pilihannya yang salah) maka tidak ada sesiapapun yang dapat memberi hidayat petunjuk kepadanya.
Surah Al-A’Rad Ayat:33
****************************@@@@***************************************
NUR, MATA HATI DAN HATI
——————————————————————————–
NUR-NUR ILAHI ADALAH KENDERAAN HATI DAN RAHSIA HATI. NUR ITU IALAH TENTERA HATI, SEBAGAIMANA KEGELAPAN ADALAH TENTERA NAFSU. JIKA ALLAH S.W.T MAHU MENOLONG HAMBA-NYA MAKA DIBANTU DENGAN TENTERA ANWAR (NUR-NUR) DAN DIHENTIKAN BEKALAN KEGELAPAN. NUR ITU BAGINYA MENERANGI (MEMBUKA TUTUPAN), MATA HATI ITU BAGINYA MENGHAKIMKAN DAN HATI ITU BAGINYA MENGHADAP ATAU MEMBELAKANG.
—————————————————————————
Allah s.w.t hanya boleh dikenal jika Dia sendiri mahu Dia dikenali. Jika Dia mahu memperkenalkan Diri-Nya kepada hamba-Nya maka hati hamba itu akan dipersiapkan dengan mengurniakannya warid. Hati hamba diterangi dengan Nur-Nya. Tidak mungkin mencapai Allah s.w.t tanpa dorongan yang kuat dari Nur-Nya. Nur-Nya adalah kenderaan bagi hati untuk sampai ke Hadrat-Nya. Hati adalah umpama badan dan roh adalah nyawanya. Roh pula berkait dengan Allah s.w.t dan perkaitan itu dinamakan as-Sir (Rahsia). Roh menjadi nyawa kepada hati dan Sir menjadi nyawa kepada roh. Boleh juga dikatakan bahawa hakikat kepada hati adalah roh dan hakikat kepada roh adalah Sir. Sir atau Rahsia yang sampai kepada Allah s.w.t dan Sir yang masuk ke Hadrat-Nya. Sir yang mengenal Allah s.w.t. Sir adalah hakikat kepada sekalian yang maujud.
Nur Ilahi menerangi hati, roh dan Sir. Nur Ilahi membuka bidang hakikat-hakikat. Amal dan ilmu tidak mampu menyingkap rahsia hakikat-hakikat. Nur Ilahi yang berperanan menyingkap tabir hakikat. Orang yang mengambil hakikat dari buku-buku atau dari ucapan orang lain, bukanlah hakikat sebenar yang ditemuinya, tetapi hanyalah sangkaan dan khayalan semata-mata. Jika mahu mencapai hakikat perlulah mengamalkan wirid sebagai pembersih hati. Kemudian bersabar menanti sambil terus juga berwirid. Sekiranya Allah s.w.t kehendaki warid akan didatangkan-Nya kepada hati yang asyik dengan wirid itu. Itulah kejayaan yang besar boleh dicapai oleh seseorang hamba semasa hidupnya di dunia ini.
Alam ini pada hakikatnya adalah gelap. Alam menjadi terang kerana ada kenyataan Allah s.w.t padanya. Misalkan kita berdiri di atas puncak sebuah bukit pada waktu malam yang gelap gelita. Apa yang dapat dilihat hanyalah kegelapan. Apabila hari siang, matahari menyinarkan sinarnya, kelihatanlah tumbuh-tumbuhan dan haiwan yang menghuni bukit itu. Kewujudan di atas bukit itu menjadi nyata kerana diterangi oleh cahaya matahari. Cahaya menzahirkan kewujudan dan gelap pula membungkusnya. Jika kegelapan hanya sedikit maka kewujudan kelihatan samar. Sekiranya kegelapan itu tebal maka kewujudan tidak kelihatan lagi. Hanya cahaya yang dapat menzahirkan kewujudan, kerana cahaya dapat menghalau kegelapan. Jika cahaya matahari dapat menghalau kegelapan yang menutupi benda-benda alam yang nyata, maka cahaya Nur Ilahi pula dapat menghalau kegelapan yang menutup hakikat-hakikat yang ghaib. Mata di kepala melihat benda-benda alam dan mata hati melihat kepada hakikat-hakikat. Banyaknya benda alam yang dilihat oleh mata kerana banyaknya cermin yang membalikkan cahaya matahari, sedangkan cahaya hanya satu jenis sahaja dan datangnya dari matahari yang satu jua. Begitu juga halnya pandangan mata hati. Mata hati melihat banyaknya hakikat kerana banyaknya cermin hakikat yang membalikkan cahaya Nur Ilahi, sedangkan Nur Ilahi datangnya dari nur yang satu yang bersumberkan Zat Yang Maha Esa.
Kegelapan yang menutupi mata hati menyebabkan hati terpisah daripada kebenaran. Hatilah yang tertutup sedangkan kebenaran tidak tertutup. Dalil atau bukti yang dicari bukanlah untuk menyatakan kebenaran tetapi adalah untuk mengeluarkan hati dari lembah kegelapan kepada cahaya yang terang benderang bagi melihat kebenaran yang sememangnya tersedia ada, bukan mencari kebenaran baharu. Cahayalah yang menerangi atau membuka tutupan hati. Nur Ilahi adalah cahaya yang menerangi hati dan mengeluarkannya dari kegelapan serta membawanya menyaksikan sesuatu dalam keadaannya yang asli. Apabila Nur Ilahi sudah membuka tutupan dan cahaya terang telah bersinar maka mata hati dapat memandang kebenaran dan keaslian yang selama ini disembunyikan oleh alam nyata. Bertambah terang cahaya Nur Ilahi yang diterima oleh hati bertambah jelas kebenaran yang dapat dilihatnya. Pengetahuan yang diperolehi melalui pandangan mata hati yang bersuluhkan Nur Ilahi dinamakan ilmu laduni atau ilmu yang diterima dari Allah s.w.t secara langsung. Kekuatan ilmu yang diperolehi bergantung kepada kekuatan hati menerima cahaya Nur.
Ilahi.
Murid yang masih pada peringkat permulaan hatinya belum cukup bersih, maka cahaya Nur Ilahi yang diperolehinya tidak begitu terang. Oleh itu ilmu laduni yang diperolehinya masih belum mencapai peringkat yang halus-halus. Pada tahap ini hati boleh mengalami kekeliruan. Kadang-kadang hati menghadap kepada yang kurang benar dengan membelakangkan yang lebih benar. Orang yang pada peringkat ini perlu mendapatkan penjelasan daripada ahli makrifat yang lebih arif. Apabila hatinya semakin bersih cahaya Nur Ilahi semakin bersinar meneranginya dan dia mendapat ilmu yang lebih jelas. Lalu hatinya menghadap kepada yang lebih benar, sehinggalah dia menemui kebenaran hakiki.

TERBUKA MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU AKAN HAMPIRNYA ALLAH S.W.T. PENYAKSIAN MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU AKAN KETIADAAN KAMU DI SAMPING WUJUD ALLAH S.W.T. PENYAKSIAN HAKIKI MATA HATI MEMPERLIHATKAN KEPADA KAMU HANYA ALLAH YANG WUJUD, TIDAK TERLIHAT LAGI KETIADAAN KAMU DAN WUJUD KAMU.
Apabila hati sudah menjadi bersih maka hati akan menyinarkan cahayanya. Cahaya hati ini dinamakan Nur Kalbu. Ia akan menerangi akal lalu akal dapat memikirkan dan merenungi tentang hal-hal ketuhanan yang menguasai alam dan juga dirinya sendiri. Renungan akal terhadap dirinya sendiri membuatnya menyedari akan perjalanan hal-hal ketuhanan yang menguasai dirinya. Kesedaran ini membuatnya merasakan dengan mendalam betapa hampirnya Allah s.w.t dengannya. Lahirlah di dalam hati nuraninya perasaan bahawa Allah s.w.t sentiasa mengawasinya. Allah s.w.t melihat segala gerak-gerinya, mendengar pertuturannya dan mengetahui bisikan hatinya. Jadilah dia seorang Mukmin yang cermat dan berwaspada.
Di antara sifat yang dimiliki oleh orang yang sampai kepada martabat Mukmin ialah:
1: Cermat dalam pelaksanaan hukum Allah s.w.t.
2: Hati tidak cenderung kepada harta, berasa cukup dengan apa yang ada dan tidak sayang membantu orang lain dengan harta yang dimilikinya.
3: Bertaubat dengan sebenarnya (taubat nasuha) dan tidak kembali lagi kepada kejahatan.
4: Rohaninya cukup kuat untuk menanggung kesusahan dengan sabar dan bertawakal kepada Allah s.w.t.
5: Kehalusan kerohaniannya membuatnya berasa malu kepada Allah s.w.t dan merendah diri kepada-Nya.

Orang Mukmin yang taat kepada Allah s.w.t, kuat melakukan ibadat, akan meningkatlah kekuatan rohaninya. Dia akan kuat melakukan tajrid iaitu menyerahkan urusan kehidupannya kepada Allah s.w.t. Dia tidak lagi khuatir terhadap sesuatu yang menimpanya, walaupun bala yang besar. Dia tidak lagi meletakkan pergantungan kepada sesama makhluk. Hatinya telah teguh dengan perasaan reda terhadap apa jua yang ditentukan Allah s.w.t untuknya. Bala tidak lagi menggugat imannya dan nikmat tidak lagi menggelincirkannya. Baginya bala dan nikmat adalah sama iaitu takdir yang Allah s.w.t tentukan untuknya. Apa yang Allah s.w.t takdirkan itulah yang paling baik. Orang yang seperti ini sentiasa di dalam penjagaan Allah s.w.t kerana dia telah menyerahkan dirinya kepada Allah s.w.t. Allah s.w.t kurniakan kepadanya keupayaan untuk melihat dengan mata hati dan bertindak melalui Petunjuk Laduni, tidak lagi melalui fikiran, kehendak diri sendiri atau angan-angan. Pandangan mata hati kepada hal ketuhanan memberi kesan kepada hatinya (kalbu). Dia mengalami suasana yang menyebabkan dia menafikan kewujudan dirinya dan diisbatkannya kepada Wujud Allah s.w.t. Suasana ini timbul akibat hakikat ketuhanan yang dialami oleh hati.. Dia berasa benar-benar akan keesaan Allah s.w.t bukan sekadar mempercayainya.
Pengalaman tentang hakikat dikatakan memandang dengan mata hati. Mata hati melihat atau menyaksikan keesaan Allah s.w.t dan hati merasakan akan keadaan keesaan itu. Mata hati hanya melihat kepada Wujud Allah s.w.t, tidak lagi melihat kepada wujud dirinya. Orang yang di dalam suasana seperti ini telah berpisah dari sifat-sifat kemanusiaan. Dalam berkeadaan demikian dia tidak lagi mengendahkan peraturan masyarakat. Dia hanya mementingkan soal perhubungannya dengan Allah s.w.t. Soal duniawi seperti makan, minum, pakaian dan pergaulan tidak lagi mendapat perhatiannya. Kelakuannya boleh menyebabkan orang ramai menyangka dia sudah gila. Orang yang mencapai peringkat ini dikatakan mencapai makam tauhid sifat. Hatinya jelas merasakan bahawa tidak ada yang berkuasa melainkan Allah s.w.t dan segala sesuatu datangnya dari Allah s.w.t.
Rohani manusia melalui beberapa peningkatan dalam proses mengenal Tuhan. Pada tahap pertama terbuka mata hati dan Nur Kalbu memancar menerangi akalnya. Seorang Mukmin yang akalnya diterangi Nur Kalbu akan melihat betapa hampirnya Allah s.w.t. Dia melihat dengan ilmunya dan mendapat keyakinan yang dinamakan ilmul yaqin. Ilmu berhenti di situ. Pada tahap keduanya mata hati yang terbuka sudah boleh melihat. Dia tidak lagi melihat dengan mata ilmu tetapi melihat dengan mata hati. Keupayaan mata hati memandang itu dinamakan kasyaf. Kasyaf melahirkan pengenalan atau makrifat. Seseorang yang berada di dalam makam makrifat dan mendapat keyakinan melalui kasyaf dikatakan memperolehi keyakinan yang dinamakan ainul yaqin. Pada tahap ainul yaqin makrifatnya ghaib dan dia juga ghaib dari dirinya sendiri. Maksud ghaib di sini adalah hilang perhatian dan kesedaran terhadap sesuatu perkara.. Beginilah hukum makrifat yang berlaku.

Makrifat lebih tinggi nilainya dari ilmu pengetahuan. Ilmu pengetahuan adalah pencapaian terhadap persoalan yang terpecah-pecah bidangnya. Makrifat pula adalah hasil pencapaian terhadap hakikat-hakikat yang menyeluruh iaitu hakikat kepada hakikat-hakikat. Tetapi, penyaksian mata hati jauh lebih tinggi dari ilmu dan makrifat kerana penyaksian itu adalah hasil dari kemahuan keras dan perjuangan yang gigih disertai dengan upaya hati dan pengalaman. Penyaksian(shahadul Haq) adalah setinggi-tinggi keyakinan. Penyaksian yang paling tinggi ialah penyaksian hakiki oleh mata hati atau penyaksian yang haq. Ia merupakan keyakinan yang paling tinggi dan dinamakan haqqul yaqin. Pada tahap penyaksian hakiki mata hati, mata hati tidak lagi melihat kepada ketiadaan dirinya atau kewujudan dirinya, tetapi Allah s.w.t dilihat dalam segala sesuatu, segala kejadian, dalam diam dan dalam tutur-kata. Penyaksian hakiki mata hati melihat-Nya tanpa dinding penutup antara kita dengan-Nya. Tiada lagi antara atau ruang antara kita dengan Dia.
Dia berfirman:
“Dan Ia (Allah) tetap bersama-sama kamu di mana sahaja kamu berada.”
( Ayat 4 : Surah al-Hadiid)

Dia tidak terpisah dari kamu. Penyaksian yang hakiki ialah melihat Allah s.w.t dalam segala sesuatu dan pada setiap waktu. Pandangannya terhadap makhluk tidak menutup pandangannya terhadap Allah s.w.t. Inilah makam keteguhan yang dipenuhi oleh ketenangan serta kedamaian yang sejati dan tidak berubah-ubah, bernaung di bawah payung Yang Maha Agung dan Ketetapan Yang Teguh. Pada penyaksian yang hakiki tiada lagi ucapan, tiada bahasa, tiada ibarat, tiada ilmu, tiada makrifat, tiada pendengaran, tiada kesedaran, tiada hijab dan semuanya sudah tiada. Tabir hijab telah tersingkap, maka Dia dipandang tanpa ibarat, tanpa huruf, tanpa abjad. Allah s.w.t dipandang dengan mata keyakinan bukan dengan mata zahir atau mata ilmu atau kasyaf. Yakin, semata-mata yakin bahawa Dia yang dipandang sekalipun tidak ada sesuatu pengetahuan untuk diceritakan dan tidak ada sesuatu pengenalan untuk dipamerkan.
Orang yang memperolehi haqqul yaqin berada dalam suasana hatinya kekal bersama-sama Allah s.w.t pada setiap ketika, setiap ruang dan setiap keadaan. Dia kembali kepada kehidupan seperti manusia biasa dengan suasana hati yang demikian, di mana mata hatinya sentiasa menyaksikan Yang Hakiki. Allah s.w.t dilihat dalam dua perkara yang berlawanan dengan sekali pandang. Dia melihat Allah s.w.t pada orang yang membunuh dan orang yang kena bunuh. Dia melihat Allah s.w.t yang menghidupkan dan mematikan, menaikkan dan menjatuhkan, menggerakkan dan mendiamkan. Tiada lagi perkaitannya dengan kewujudan atau ketidakwujudan dirinya. Wujud Allah Esa, Allah s.w.t meliputi segala sesuatu.
—————————————————————————-
TANDA KEJAHILAN AHLI HAKIKAT
——————————————————————————-
JIKA KAMU MELIHAT SESEORANG (AHLI HAKIKAT) MENJAWAB SETIAP PERTANYAAN DAN MENERANGKAN SETIAP PENGLIHATAN (MATA HATI) DAN MENCERITAKAN SETIAP YANG DIKETAHUINYA, MAKA KETAHUILAH BAHAWA YANG DEMIKIAN ITU ADALAH TANDA KEJAHILANNYA.

—————————————————————————
Manusia digesa supaya menggunakan akal fikirannya untuk mengkaji tentang kejadian-kejadian alam maya ciptaan Tuhan Maha Pencipta. Semakin mendalam pengetahuan tentang ciptaan Allah s.w.t, semakin kelihatan kebesaran dan keagungan-Nya. Bertambah pula keinsafan tentang kelemahan yang ada pada diri manusia terutamanya dalam menghuraikan hal ketuhanan. Ilmu pengetahuan yang mahir dalam perbahasan tentang makhluk menjadi tidak bermaya apabila mencuba menyingkap Rahsia-rahsia ketuhanan. Bila mengakui akan kejahilan dirinya seseorang itu menyerahkan dirinya dengan beriman kepada Allah s.w.t. Penyerahan ini dinamakan aslim dan orang yang berbuat demikian dinamakan orang Islam. Orang yang beriman tidak membahaskan tentang Allah s.w.t kerana mereka mengakui kelemahan akal dalam bidang tersebut.
Bidang yang tidak dapat diterokai oleh akal masih mampu dijangkau oleh hati. Hati yang suci bersih mengeluarkan cahayanya yang dinamakan Nur Kalbu. Nur Kalbu menerangi akal dan bersuluhkan cahaya Nur Kalbu ini, akal dapat menyambung kembali perjalanannya dari ‘stesen’ ia telah berhenti. Perjalanan akal yang diterangi oleh cahaya Nur Kalbu mampu menyingkap perkara-perkara yang ghaib dan beriman dengannya walaupun akal manusia umum menafikannya.
Terdapat perbezaan yang besar antara akal biasa dengan akal yang diterangi oleh nur. Akal biasa beriman kepada Allah s.w.t berdasarkan dalil-dalil yang nyata dan logik. Akal yang beserta nur mampu menyelami di bawah atau di sebalik yang nyata iaitu perkara ghaib, dan beriman kepada Allah s.w.t berdasarkan pengalaman tentang perkara-perkara ghaib. Walaupun perkara ghaib itu tidak dapat diterima oleh akal biasa, tetapi akal yang bersuluhkan nur tidak sedikit pun ragu-ragu terhadapnya. Pengetahuan yang terhasil dari cetusan atau tindakan nur ini dinamakan ilmu hakikat, ilmu ghaib, ilmu Rabbani atau ilmu laduni. Walau apa pun istilah yang digunakan, ia adalah pengetahuan tentang ketuhanan yang didapati dengan cara mengalami sendiri tentang hal-hal ketuhanan, bukan menurut perkataan orang lain, dan juga bukan menurut sangkaannya sendiri.
Hatilah yang mengalami hal-hal tersebut dan pengalaman ini dinamakan pengalaman rasa, zauk atau hakikat. Apa yang dialami oleh hati tidak dapat dilukiskan atau dibahasakan. Lukisan dan bahasa hanya sekadar menggerakkan pemahaman sedangkan hal yang sebenar jauh berbeza. Jika hal pengalaman hati dipegang pada lukisan dan bahasa ibarat, maka seseorang itu akan menjadi keliru. Jika lukisan dan simbol diiktikadkan sebagai hal ketuhanan maka yang demikian adalah kufur!
Pemegang ilmu ghaib terdiri daripada dua golongan. Golongan pertama adalah orang yang terlebih dahulu memasuki bidang pembelajaran tentang tauhid dan latihan penyucian hati menurut tarekat tasauf. Pembelajaran dan latihan yang mereka lakukan tidak membuka bidang hakikat. Ini membuat mereka mengerti akan nilai dan kedudukan ilmu ghaib yang sukar diperolehi itu. Mereka hanya dapat belajar, melatih diri, kemudian menanti dan terus menanti. Jika Allah s.w.t berkenan maka dikurniakan sinaran nur yang menerangi hati si murid itu. Si murid itu pun mengalami dan berpengetahuan tentang hakikat. Pengetahuan yang diperolehi itu sangat berharga baginya dan dijaganya benar-benar, tidak dibukakannya kepada orang lain kerana dia tahu yang orang ramai sukar memahami perkara yang telah dialaminya itu.
Pemegang ilmu ghaib golongan kedua tidak pula melalui proses pembelajaran dan latihan seperti golongan pertama. Golongan ini tiba-tiba sahaja dibukakan hakikat kepada mereka (hanya Allah s.w.t mengetahui mengapa Dia berbuat demikian). Oleh sebab mereka memperolehinya dengan mudah dan tanpa asas pengetahuan yang kuat, mereka tidak mengetahui nilai sebenar pengetahuan yang mereka perolehi itu. Mereka menyangkanya sebagai ilmu biasa. Lantaran mereka memahaminya mereka menyangka orang lain juga memahaminya. Sebab itu mereka mudah memperkatakan ilmu tersebut di hadapan orang ramai. Oleh sebab ilmu ini tidak dapat diceritakan kecuali dengan ibarat, satu daripada dua kemungkinan akan berlaku.
1.Pertama, lantaran orang ramai melihat latar belakang orang hakikat tadi tidak mempunyai asas agama yang kuat, bukan orang alim, maka mereka menganggapnya pembohong dan pembawa cerita khayal.
2.Kedua, kemungkinan ada orang yang mempercayainya tetapi kepercayaan itu tertuju kepada ibarat bukan kepada yang diibaratkan. Kedua-dua kemungkinan tersebut adalah tidak sihat. Sebab itu dilarang keras memperkatakan tentang ilmu hakikat kepada bukan ahlinya. Orang yang membeberkannya dengan mudah disebut orang jahil yang tidak tahu nilai berlian yang ada padanya.

—————————————————————————
Nur Sifat Allah s.w.t Menerangi Rahsia hati
DITERANGI-NYA YANG ZAHIR DENGAN CAHAYA ATHAR DAN DITERANGI-NYA RAHSIA HATI DENGAN NUR SIFAT-NYA. OLEH SEBAB ITU TERBENAM CAHAYA TERANG YANG ZAHIR TETAPI TIDAK TERBENAM CAHAYA KALBU DAN SIR (HATI DAN RAHSIA HATI). BERKATA ORANG BIJAK PANDAI : “ MATAHARI SIANG TERBENAM PADA WAKTU MALAM TETAPI MATAHARI HATI TIDAK TERBENAM.”
—————————————————————-

Makhluk ini asalnya ‘adam (tidak ada). ‘Adam menerima kewujudan dari kesan perbuatan Allah s.w.t. Ada perbezaan antara perbuatan dengan kesan perbuatan. Misalnya, melukis adalah perbuatan dan lukisan adalah kesan perbuatan. Kesan kepada perbuatan adalah baharu sementara perbuatan pula menunjukkan sifat si pembuat. Perbuatan tidak berpisah daripada sifat dan sifat tidak berpisah daripada zat atau diri yang berkenaan. Kesan perbuatan tidak sedikit pun menyamai sifat yang asli. Kewujudan yang lahir dari kesan perbuatan Allah s.w.t tidak sedikit pun menyamai sifat Allah s.w.t. Apa sahaja yang mengenai Allah s.w.t, termasuklah perbuatan-Nya adalah:
ertinya:
Tidak ada sesuatu yang serupa dengan-Nya.

Kewujudan baharu yang menjadi kesan kepada perbuatan Allah s.w.t dinamakan athar. Alam semesta adalah athar. Tidak ada dari kalangan athar yang boleh dijadikan gambaran, ibarat atau lukisan untuk menceritakan tentang Pencipta athar. Kewujudan athar hanya boleh dijadikan dalil untuk menunjukkan Wujud Maha Pencipta. Jika tidak ada tindakan dari Maha Pencipta tentu tidak ada kewujudan yang menjadi kesan dari tindakan tersebut.
Ahli ilmu merumuskan wujud alam menjadi bukti wujudnya Tuhan. Alam boleh menjadi bahan bukti kerana sifatnya yang boleh dilihat dan ada kenyataan mengenainya Ia menjadi nyata kerana ia diterangi oleh cahaya dan cahaya yang meneranginya adalah bahagian daripada athar juga. Matahari, bulan dan bintang adalah athar yang berkeupayaan memberikan cahaya. Sifat athar adalah berubah-ubah, tidak menetap. Cahaya yang keluar darinya juga berubah-ubah, dari terang kepada malap dan seterusnya terbenam. Allah s.w.t berfirman:
Dan demikianlah Kami perlihatkan kepada Nabi Ibrahim kebesaran dan kekuasaan (Kami) di langit dan di bumi, dan supaya menjadilah ia dari orang-orang yang percaya dengan sepenuh-penuh yaqin. Maka ketika ia berada pada waktu malam yang gelap, ia melihat sebuah bintang (bersinar-sinar), lalu ia berkata: “Inikah Tuhanku?” Kemudian apabila bintang itu terbenam, ia berkata pula: “Aku tidak suka kepada yang terbenam hilang”. Kemudian apabila dilihatnya bulan terbit (menyinarkan cahayanya), ia berkata: “Inikah Tuhanku?” Maka setelah bulan itu terbenam, berkatalah ia: “Demi sesungguhnya, jika aku tidak diberikan petunjuk oleh Tuhanku, nescaya menjadilah aku dari kaum yang sesat”. Kemudian apabila ia melihat matahari sedang terbit (menyinarkan cahayanya), berkatalah ia: “Inikah Tuhanku? Ini lebih besar”. Setelah matahari terbenam, ia berkata pula: “Wahai kaumku, sesungguhnya aku berlepas diri (bersih) dari apa yang kamu sekutukan (Allah dengannya). Sesungguhnya aku hadapkan muka dan diriku kepada Allah yang menciptakan langit dan bumi, sedang aku tetap di atas dasar tauhid dan bukanlah aku dari orang-orang yang menyengutukan Allah (dengan sesuatu yang lain). ( Ayat 75 – 79 : Surah al-An’aam )
Ibrahim a.s mencari Tuhan dengan matanya bersuluhkan cahaya-cahaya athar. Beliau a.s kecewa kerana semua cahaya itu tidak menetap dan tidak bertahan. Lalu beliau a.s meninggalkan cahaya athar dan menghadapkan hati serta Rahsia hatinya kepada Maha Pencipta. Baharulah beliau a.s mendapat keyakinan yang teguh kerana cahaya yang menerangi hati dan Rahsia hatinya tidak berubah, tidak pudar dan tidak terbenam. Beliau a.s melihat dengan jelas bahawa athar tetap athar, tidak ada satu pun yang boleh disekutukan atau disifatkan kepada Tuhan.
Kekeliruan tentang Tuhan terjadi kerana manusia melihat kesan perbuatan Tuhan sebagai perbuatan, kemudian meletakkan hukum bahawa perbuatan tidak berpisah daripada sifat dan sifat tidak berpisah daripada zat. Oleh sebab itu perbuatan juga zat. Jika zat menjadi Tuhan maka perbuatan juga Tuhan dan apa yang terbit dari perbuatan juga Tuhan. Begitulah kesesatan yang terjadi akibat percubaan melihat Tuhan dengan suluhan cahaya athar dan menggunakan hukum logik matematik.
Seseorang haruslah melihat kepada asalnya iaitu ‘adam (tidak wujud). ‘Adam adalah lawan bagi Wujud. Jika manusia berpaling kepada ‘adam maka dia akan terhijab dari Wujud Allah s.w.t. Pandangannya akan diliputi oleh athar yang juga datang dari ‘adam. Tidak mungkin manusia menemui jalan yang sebenar jika mereka melalui jalan yang berdasarkan asal kejadiannya iaitu ‘adam. Tuhan adalah Wujud, mustahil ‘adam. Wujud-Nya Esa, tidak berbilang sedangkan wujud athar yang dari ‘adam berbilang-bilang. ‘Adam tetap tidak ada walaupun banyak makhluk yang diciptakan daripadanya. Penciptaan yang demikian tidak menambahkan Wujud. Walau sebanyak mana pun makhluk yang diciptakan namun, Allah s.w.t tetap Esa. Usaha untuk menemui keesaan Wujud Allah s.w.t dengan menuruti jalan ‘adam adalah sia-sia. Kewujudan aspek kedua mestilah disingkap jika Allah s.w.t mahu ditemui. Kewujudan yang perlu disingkapkan itu adalah yang berhubung dengan Wujud Allah s.w.t, bukan yang datangnya dari ‘adam. Kewujudan yang berhubung dengan Wujud Allah s.w.t itu adalah rohani. Firman-Nya:
(Ingatlah peristiwa) tatkala Tuhanmu berfirman kepada malaikat: “Sesungguhnya Aku hendak menciptakankan manusia – Adam -dari tanah; Kemudian apabila Aku sempurnakan kejadiannya, serta Aku tiupkan padanya roh (ciptaan)-Ku, maka hendaklah kamu sujud kepadanya”. ( Ayat 71 – 72 : Surah Saad )
Katakan: “ Roh itu dari perkara urusan Tuhanku.” ( Ayat 85 : Surah al- Israa’ )
Roh adalah amr (urusan atau perintah) Allah s.w.t, tidak termasuk dalam golongan yang diperintah. Malaikat, jin dan lain-lain termasuk dalam golongan yang diperintah. Roh manusia adalah satu Rahsia Allah s.w.t. Ia dinisbahkan kepada Allah s.w.t, bukan kepada ‘adam. Pada tahap amr (urusan) Tuhan ia dipanggil Sir (Rahsia Allah s.w.t), atau Rahsia hati. Pada tahap berkait dengan jasad ia dinamakan kalbu atau hati. Semua kualiti yang baik adalah berkait dengan toh dan semua kualiti yang jahat berkait dengan ‘adam. Jika alam maya diterangi oleh cahaya athar, hati dan rahsia hati yang dinisbahkan kepada roh urusan Tuhan, diterangi oleh nur sifat Allah s.w.t. Kualiti hati dan rahsia hati adalah mengenal. Nur sifat Allah s.w.t itulah yang menerangi hati untuk menyaksikan kepada Tuhannya. Hati orang arifbillah yang diterangi oleh nur sifat Allah s.w.t tidak lagi dikelirukan oleh cahaya athar dan benda-benda yang dipamerkan. Mata hati menyaksikan Rububiyah pada segala perkara. Zahirnya sibuk dengan makhluk, hatinya menyaksikan Rububiyah dan Sirnya (rahsia hati) tidak berpisah daripada Allah s.w.t walau sedetik pun.
Sir yang menerima sinaran Nur Sifatullah membawa sifat-sifat yang menceritakan tentang Sifat Allah s.w.t yang menyinarinya. Manusia pilihan yang diheret oleh Sir tersebut akan memakai sifat-sifat yang menceritakan hubungannya dengan Allah s.w.t. Nabi Muhammad s.a.w dikenali sebagai Habiballah; Nabi Isa a.s sebagai Roh Allah; Nabi Musa a.s sebagai Kalim Allah; Nabi Ibrahim a.s sebagai Khalil Allah. Manusia yang bukan nabi juga menerima pimpinan Sir yang menerima sinaran Nur Sifatullah dan dengan yang demikian mereka dikenali. Abu Bakar dikenali sebagai as-Siddik dan Hamzah sebagai Singa Allah. Manusia lain pula ada yang dikenali sebagai Abdul Malik, Abdul Wahab, Abdul Karim, Abdul Latif dan lain-lain. Hamba-hamba pilihan itu mendapat gelaran yang dihubungkan dengan Allah s.w.t kerana Sir mereka disinari oleh Nur Sifatullah, sebagai persediaan buat mereka menanggung amanah Allah s.w.t. Firman-N ya: Dan (ingatkanlah peristiwa) hamba-hamba Kami: Nabi Ibrahim dan Nabi Ishaq serta Nabi Ya’aqub, yang mempunyai kekuatan (melaksanakan taat setianya) dan pandangan yang mendalam (memahami agamanya). Sesungguhnya Kami telah jadikan mereka suci bersih dengan sebab satu sifat mereka yang murni, iaitu sifat sentiasa memperingati negeri akhirat. Dan sesungguhnya mereka di sisi Kami adalah orang-orang pilihan yang sebaik-baiknya. Dan (ingatkanlah peristiwa) Nabi Ismail dan Nabi Alyasa’, serta Nabi Zulkifli; dan mereka masing-masing adalah dari orang-orang yang sebaik-baiknya. ( Ayat 45 – 48 : Surah Saad ) Allah s.w.t mempersucikan hamba-hamba pilihan-Nya dengan menyinari Sir mereka dengan nur sifat-Nya dan dengan itu mereka menjadi sebaik-baik hamba yang menjalankan perintah Allah s.w.t.